pelangi langit mbokdé mukiyo, bukan perangi langit
Sejarah manusia dan peradaban,
bukan sekedar selaku akan berulang. Ganti pemain utama dengan acara, adegan,
atraksi sesuai skenario. Watak manusia memang tak ada rasa kapok, tak kenal
jera atau jauh dari rasa sifat jenuh atas aneka kejadian perkara dunia.
Dibutakan oleh nikmat dunia.
Imajinasi politik dalam hitungan detik membubung. Mana kiri dan mana kanan,
baginya sama saja. Kelengkapan akalnya menyalip daya tampung akal sehat diri. Asupan
gizi menstimulus daya akal-akalan.
Anak cucu idealis petani, ada
yang tidak meneruskan keahlian kakek nenek moyangnya. Bukan tanpa sebab. Faktor
penyebab sesuai kearifan lokal, kebijakan adat setempat. Kebijakan pemerintah
semacam kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Bagi sertifikat tanah gratis.
Akumulasi kepedulian,
keberpihakan pemerintah terhadap nasib petani, versi nasional kalah suara
dengan pilihan manusia ekonomi. Petani tembakau tetap eksis atau bertahan dalam
tingkat daya belanja rumah tangga.
Janganlah kita meninggalkan
generasi yang lemah. Pria tulang lunak bukan takaran. Brewok bukan jaminan daya
cerdas ideologi. Mendaur ulang kebijakan dan infrastruktur tol langit. Akumulasi
politik lokal diarahkan untuk menjaga stabilitas praktik demokrasi.
Demokrasi Nusantara berorientasi
bahwasanya pemenang pemilu serentak akan menguasai semua kursi. Tak ada bangku
cadangan. Namun, bahasa langit di pilpres 2019 tak bisa direkayasa.
Iseng saja kita sibak aoa itu aspek statis politik lokal. Anggap saja, aspek
statis sebagai sesuatu hal yang relatif tidak berubah. Nyaris ajeg, konstan,
konsisten. Aspek statis acap bersifat normatif, fundamental, legal. Acuan global
berupa HAM, menjadi harga mati. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar