Halaman

Sabtu, 13 April 2019

pelangi langit mbokdé mukiyo, bukan perangi langit


pelangi langit mbokdé mukiyo, bukan perangi langit

Sejarah manusia dan peradaban, bukan sekedar selaku akan berulang. Ganti pemain utama dengan acara, adegan, atraksi sesuai skenario. Watak manusia memang tak ada rasa kapok, tak kenal jera atau jauh dari rasa sifat jenuh atas aneka kejadian perkara dunia.

Dibutakan oleh nikmat dunia. Imajinasi politik dalam hitungan detik membubung. Mana kiri dan mana kanan, baginya sama saja. Kelengkapan akalnya menyalip daya tampung akal sehat diri. Asupan gizi menstimulus daya akal-akalan.

Anak cucu idealis petani, ada yang tidak meneruskan keahlian kakek nenek moyangnya. Bukan tanpa sebab. Faktor penyebab sesuai kearifan lokal, kebijakan adat setempat. Kebijakan pemerintah semacam kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Bagi sertifikat tanah gratis.

Akumulasi kepedulian, keberpihakan pemerintah terhadap nasib petani, versi nasional kalah suara dengan pilihan manusia ekonomi. Petani tembakau tetap eksis atau bertahan dalam tingkat daya belanja rumah tangga.

Janganlah kita meninggalkan generasi yang lemah. Pria tulang lunak bukan takaran. Brewok bukan jaminan daya cerdas ideologi. Mendaur ulang kebijakan dan infrastruktur tol langit. Akumulasi politik lokal diarahkan untuk menjaga stabilitas praktik demokrasi.

Demokrasi Nusantara berorientasi bahwasanya pemenang pemilu serentak akan menguasai semua kursi. Tak ada bangku cadangan. Namun, bahasa langit di pilpres 2019 tak bisa direkayasa.

Iseng saja kita sibak aoa itu  aspek statis politik lokal. Anggap saja, aspek statis sebagai sesuatu hal yang relatif tidak berubah. Nyaris ajeg, konstan, konsisten. Aspek statis acap bersifat normatif, fundamental, legal. Acuan global berupa HAM, menjadi harga mati. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar