abrit-abrit demokrasi mbokdé mukiyo, golput gumunan vs
golput kagètan
Tepat sesuai asas pradakwa diri saat memirsa diri di
cermin. Manusia harus pandai-pandai mematut diri. Simpan fakta diri, mulai dari
ukuran telapak kaki sampai elastisitas lidah tak bertulang dan tak bercabang.
Mengandalkan bisikan kata hati, hanya sebatas teritorial
fisik. Jangkauan interaksi, integrasi, interelasi sosial di manapun bumi
dipijak.
Demokrasi Nusantara menjadi hak milik turun-temurun kawanan
partai politik. Sebagai alat legitimasi kekuasaan. Golput fiktif menjadi agenda
terselubung biaya politik. Rekayasa kisaran angka golput, pemilu akan tetap
menghasilkan wakil takyat, wakil daerah dan presiden.
Alkisah, parpol penyumbang golput tetap akan senyum. Utamakan
raihan kursi. Soal tidak ada ikatan moral dengan rakyat, hal biasa. Rakyat sudah
bisa menentukan nasibnya sendiri. Tidak perlu diajari.
Pemilu serentak 2019 maupun Pilkada serentak sebelumnya, adalah
proses demokrasi yang dapat diukur, dikalkulasi, diprediksi maupun diantisipasi
pada proses maupun hasilnya.
Efektivitas negara multipartai, stadium déklinasi, dékadénsi,
dégradasi moral politik. Dapat dimaafkan, berkat ramuan ajaib revolusi mental. Dapat
dibenarkan demi stabilitas wibawa negara.
Golput bukan kejahatan politik. Sebagai indikasi utama
masih suburnya penyakit politik Tindakan diri masuk kategori golput, sebagai
hal yang harus dilakukan oleh seseorang.
Dapat dipertanggungjawabkan, dalam arti
ditarik mundur untuk mencari faktor penyebabnya. Tidak dapat dipersalahkan secara hukum karena melakukan
perbuatan tersebut.
Tanpa pembuktian, sudah jelas bahwa golput adalah faktor
politik.
Ketika manusia politik masih tidak bisa membedakan mana
yang kanan dan mana yang kiri. Itulah tanda jadi penentu sentimen. Kepercayaan dimulai
ada rasa saling percaya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar