demokrasi Nusantara linuwih mlajeng katimbang negara majeng
Mengacu, kilas balik konvensi internasional, menyimak kebiasaan dunia
maupun produk hukum lokal Nusantara. Diperkuat pendapat pakar, ujaran para ahli
di bidangnya, sinyalemen wong pintar. Tanpa mengurangi rasa hormat, perhatikan
kebijakan penguasa. Nyinyirnya penguasa adalah hukum.
Bagaimanapun, praktik demokrasi di Nusantara tak lepas dari budaya politik.
Bagaimana nasib Pancasila sebagai ideologi negara. Terserah pihak yang
suka-suka. Pas mau atau pas ada maunya. Ada udang di balik tempurung, kian
bungkuk dan terbungkuk-bungkuk. Nasib atau karakter petugas partai 2014-2019.
Bukan fakta, bukan asumsi sejarah, bukan hasil studi banding, bukan temuan
blusukan, bukan hasil survei hitung asal cepat. Budaya politik Nusantara masuk
stadium parokial-kawula. Agar tak merasa tersanjung. Simak kamus “Tesaurus
Bahasa Indonesia”, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 28 Oktober
2008. Fokus pada lema:
parokial a cupet, pendek akal, kerdil, picik, singkat akal,
suntuk, sempit
kawula n 1 abdi, babu (cak), budak, bujang, jongos, kacung,
pelayan, pembantu, pesuruh, sahaya; 2 barisan, massa, pengikut, orang biasa,
rakyat
Pakai pasal banding, asas tanding, dalil sanding, ternyata fakta historis
tiap periode penguasa melahirkan budaya politik. Tidak mau kalah dengan
pendahulunya. Yang mana, dimana, yang nge-hit,
nge-top, nge-pop, nge-trend dapat dirasakan dengan adanya tindak turun
tangan alam. Bencana politik akumulasi aneka penyakit politik yang akut.
Pertama. Gaya merakyat penguasa membuktikan wibawa diri alergi kritik. Bebas
menyalurkan pendapat dihadang pasal ujaran kebencian, pencemaran nama baik,
perbuatan tidak menyenangkan. Lebih bersifat mendirikan pagar kuat tinimbang
mengakar ke rakyat.
Kedua. Juara umum pesta demokrasi atau pemilu legislatif, akan meraup semua
kursi. Bangku cadangan tak tersisa. Tak ada oposisi banci, oposisi setengah
hati zaman SBY. Jangan bayangkan juara pemilu serentak akan berbuat sekehendak.
Ketiga. Manusia ekonomi tak sabar, tak betah hanya sebagai pengendali jarak
jauh. Langsung terjun, mulai membuat partai politik boneka sampai mendirikan
parpol pribadi. Agar cengkeraman stabil di Nusantara. Berharap menguasai tata
niaga politik Nusantara, dari hulu hingga ke hilir.
Keempat. Suara rakyat sebagai tanda partisipasi, peran serta,
keikutsertaan, kepedulian, tanggung jawab politik terhadap agenda politik
nasional tak diimbangi dengan sikap positif penguasa, penyelenggara negara. Rekapitulasi
suara rakyat dimanipulasi, direkayasa sesuai asas demokrasi untuk melanggengkan
kekuasaan.
Kelima. Praktik demokrasi atau agenda politik Nusantara kian jauh dari
rakyat berbanding lurus dengan terdegradasinya ideologi Pancasila. Kebutuhan
primer rakyat (sandang, pangan, papan) menjadi dalil penyusunan kepentingan terselubung
partai politik selama satu periode.
Cukup lima saja. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar