Halaman

Rabu, 24 April 2019

demokrasi Nusantara linuwih mlajeng katimbang negara majeng


demokrasi Nusantara linuwih mlajeng katimbang negara majeng

Mengacu, kilas balik konvensi internasional, menyimak kebiasaan dunia maupun produk hukum lokal Nusantara. Diperkuat pendapat pakar, ujaran para ahli di bidangnya, sinyalemen wong pintar. Tanpa mengurangi rasa hormat, perhatikan kebijakan penguasa. Nyinyirnya penguasa adalah hukum.

Bagaimanapun, praktik demokrasi di Nusantara tak lepas dari budaya politik. Bagaimana nasib Pancasila sebagai ideologi negara. Terserah pihak yang suka-suka. Pas mau atau pas ada maunya. Ada udang di balik tempurung, kian bungkuk dan terbungkuk-bungkuk. Nasib atau karakter petugas partai 2014-2019.

Bukan fakta, bukan asumsi sejarah, bukan hasil studi banding, bukan temuan blusukan, bukan hasil survei hitung asal cepat. Budaya politik Nusantara masuk stadium parokial-kawula. Agar tak merasa tersanjung. Simak kamus “Tesaurus Bahasa Indonesia”, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 28 Oktober 2008. Fokus pada lema:

parokial a cupet, pendek akal, kerdil, picik, singkat akal, suntuk, sempit

kawula n 1 abdi, babu (cak), budak, bujang, jongos, kacung, pelayan, pembantu, pesuruh, sahaya; 2 barisan, massa, pengikut, orang biasa, rakyat

Pakai pasal banding, asas tanding, dalil sanding, ternyata fakta historis tiap periode penguasa melahirkan budaya politik. Tidak mau kalah dengan pendahulunya. Yang mana, dimana, yang nge-hit, nge-top, nge-pop, nge-trend dapat dirasakan dengan adanya tindak turun tangan alam. Bencana politik akumulasi aneka penyakit politik yang akut.

Pertama. Gaya merakyat penguasa membuktikan wibawa diri alergi kritik. Bebas menyalurkan pendapat dihadang pasal ujaran kebencian, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan. Lebih bersifat mendirikan pagar kuat tinimbang mengakar ke rakyat.

Kedua. Juara umum pesta demokrasi atau pemilu legislatif, akan meraup semua kursi. Bangku cadangan tak tersisa. Tak ada oposisi banci, oposisi setengah hati zaman SBY. Jangan bayangkan juara pemilu serentak akan berbuat sekehendak.

Ketiga. Manusia ekonomi tak sabar, tak betah hanya sebagai pengendali jarak jauh. Langsung terjun, mulai membuat partai politik boneka sampai mendirikan parpol pribadi. Agar cengkeraman stabil di Nusantara. Berharap menguasai tata niaga politik Nusantara, dari hulu hingga ke hilir.

Keempat. Suara rakyat sebagai tanda partisipasi, peran serta, keikutsertaan, kepedulian, tanggung jawab politik terhadap agenda politik nasional tak diimbangi dengan sikap positif penguasa, penyelenggara negara. Rekapitulasi suara rakyat dimanipulasi, direkayasa sesuai asas demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan.

Kelima. Praktik demokrasi atau agenda politik Nusantara kian jauh dari rakyat berbanding lurus dengan terdegradasinya ideologi Pancasila. Kebutuhan primer rakyat (sandang, pangan, papan) menjadi dalil penyusunan kepentingan terselubung partai politik selama satu periode.

Cukup lima saja. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar