kudeta penguasa terhadap suara rakyat
Sejarah bisa saja luput mencatat. Belum masuk kajian, riset, survei PBB. Kamus
politik negara tertua pun belum membakukan. Penerawangan mewakili benua dan
dunia lain, belum bisa menemukan ‘benda langit’ yang pernah jatuh ke bumi.
Malah di Nusantara sudah menjadi
menu penguasa secara terselubung, sistematis, gaya bebas. Antar presiden
membawa aroma politik yang khas dan nyaris paten. Bebang merah antar kejadian
perkara dimaksud, masih ada pemain lama.
Nusantara tak bisa lepas sebagai bagian dunia. Diakui tak diakui, model
gerilya politik menjadi rujukan cikal bakal bangsa yang ingin merdeka. Menjadi
kiblat sesama negara yang gemar berkembang. Sidang umum PBB atau forum badan
dunia, negara donor mengundang perwakilan RI sebagai nara sumber.
Gerilya politik Nusantara melaju berkat dukungan TIK, ITE atau teknologi
secara umum. Pelaku utama masih aman, nyaman, mapan di landasan pacu.
Dewa penguasa kerajaan khayangan sampai dibuat bingung binti lingkung. Bukan
sekedar pagar betis doyan daun muda. Anak durhaka. Anak didik murtad. Pasal Jauh
dari makna kéré munggah balé. Seperti menjadi lagu wajib, seirama
dengan gemilangnya laku KKN antar periode. Skenario “Buaya vs Cicak” menjadi
acara, adegan, atraksi hiburan politik dalam negeri.
Media asing yang jauh berpengalaman main propaganda, aksi promosi, olah provokasi
lintas negara, kalah ilmu dengan manusia politik Nusantara. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar