Mengulang-ulang Adegan Pembenaran
Wajar, jika ada 10 hasil survei oleh lembaga survei berbeda, menghasilkan kesimpulan
akhir yang sama tapi tak serupa. Pada kisaran yang tak beda jauh. Seolah ada
keseragaman ‘ilmu survei’.
Pertanyaan mendasar adalah seberapa banyak keterwakilan responden atau
obyek survei. Menyangkut peluang keterpilhan pada pilpres, jelas tak asal cari
lokasi yang terjangkau. Pilih responden yang gampang diajak bicara kalau model
wawancara.
Memanfaatkan digital melayani, cari kelompok masyarakat yang sudah ramah
teknologi. Tak lupa tentukan lokasi aman pada daerah pemilihan. Jelas geografis
politiknya.
Pihak lain, gelombang propaganda, promosi, provokasi penguasa selalu
menampilkan kisah sukses, berita baik, melebihi panggilan tugas, atas nama
rakyat. Adegan ayunan cangkul pertama kemandirian pangan, peletakkan batu
pertama atau penanaman kepala kerbau, sampai acara negara pada pengguntingan
pita atau peresmian akhir proyek fisik.
Hukum keseimbangan berlaku. Berita baik pada hakikatnya untuk menutupi
berita buruk. Fakta kinerja sesuai kewajiban, ditayangkan sedemikan atraktif. Padahal,
masih banyak PR yang mangkrak. Apalagi kalau pengamat asing ikut menilai kisah
sukses yang non-substansial. Negara atau badan pemasok utang luar negeri, tahu
betul karakter penguasa Nusantara. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar