menang dapat tulang, kalah kebagian kuah
Semenjak anak bangsa pribumi Nusantara melek politik. Masih
jauh dari cerdas ideologi. Sejarah membuktikan, bahwasanya kode etik, etika
politik yang berlaku resmi hanya berbasis pada politik kekuasaan, bukan politik
moral.
Dimana sebuah partai politik dimasuki, pakai hukum
setempat. Analog dengan orang naik pesawat terbang atau moda angkutan lainnya. Wajib
patuh aturan main sesuai moda angkutan. Bahkan cara duduk pun sudah ada
SOP-nya.
Politik kekuasaan yaitu tindakan aksi politik secara
konstitusional untuk meraih, merebut, mempertahankan, memperpanjang, merebut
kembali kekuasaan. Diyakini, dengan kekuasaan berdasarkan politik di tangan, maka
seseorang atau kelompok tertentu, biasanya oleh kawanan manusia politik.
Pertama. Pihak pemenang pesta demokrasi, merasa berhak
mengatur nasib negara lima tahu ke depan. Melalui sistem pemerintahan yang
dibentuknya. Sekaligus keefektivan kuasa politik manjur sebagai kekuatan nyata,
legal, formal untuk mengatur aspek bermasyarakat maupun aspek berbangsa. Modal utama,
mendominasi akses dan kendali prosesi kebijakan publik. Mengakomodir aneka
kepentingan tim sukses.
Kedua. Pihak kroni pendukung penguasa, begitu pasca ambil
sumpah/janji, langsung argo balik modal biaya politik berdetak. Bentukan atau
tampilan lain, meningkatkan gaya hidup sesuai martabat baru. Perbaikan nasib
dan keturunan, dimungkinkan dengan siap, sedia, sigap lanjut ke periode kedua. Atau
meningkat. Pewaris kekuasaan dibina sejak dini.
Dua pasal utama di atas, tak heran jika. Muncul aneka modus
operandi, berbagai teknik manipulasi, serba pola rekayasa untuk mewujudkan
cita-cita politik. Menjegal kawan seiring dan setujuan, menjadi hal lumrah,
wajar, lazim. Apalagi melibas lawan politik atau pihak yang patut diduga
sebagai penghalang potensial.
Negara multipartai alamat atau pratanda mengundang atau
mengandung bencana politik lokal, semilokal, regional sambung menyambung. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar