Halaman

Jumat, 26 April 2019

korupsi serentak agar hukum lelah jiwa


korupsi serentak agar hukum lelah jiwa

Pernah terjadi kejadian perkara di zaman penjajahan Belanda. Dekat-dekat Proklamasi. Penduduk secara gotong royong melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan pemerintah saat itu. Siasat mereka, jika nantinya didili, penjara tak akan muat menampung pelaku kejahata satu kampong.

Hamba hukum yang memang harus lebih satu langkah katimbang penjahat, tak mau kalah pasal. Akhirnya, terpidana masuk penjara secara bergelombang. Entah sesuai masa hukuman atau faktor lainnya. Akhirnya semua merasakan mendekam di hotel prodeo. Sambil temu warga, tak merasa jemu.

Lompat jauh setelah pasca Proklamasi. Tepatnya pasca bergulirnya reformasi mulai dari pucaknya, 21 Mei 1998. Nusantara sebagai negara berkembang melaju deras. Dukungan layar berlogo aneka partai politik. Layar utama sampai layar pelengkap penderita.

Efektivitas negara multipartai menambah kemanfaatan pasal biaya politik, ongkos politik. Kalkulasi politik, dua periode belum impas. Melebih aturan main melunasi ULN. Sindikat politik tak kenal kompromi. Kian cepat lunas, lunas sebelum jatuh tempo malah ditambah modal politiknya.

Dapil identik dengan sumber dana segar terpendam. Persaingan membuat pihak terkait, siap saling melibas dalam lipatan. Siapa cepat, nekat menggali belum tentu dapat. Alat keruk lokal kalah dengan nasional. Elite lokal yang dekat dengan rakyat, mudah menggalang dana demi pembangunan daerah.

Kepentingan partai politik bisa mengalahkan kebutuhan rakyat di semua tingkatan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar