korupsi serentak agar hukum lelah jiwa
Pernah terjadi kejadian perkara di zaman penjajahan Belanda. Dekat-dekat
Proklamasi. Penduduk secara gotong royong melakukan perbuatan yang tidak
menyenangkan pemerintah saat itu. Siasat mereka, jika nantinya didili, penjara
tak akan muat menampung pelaku kejahata satu kampong.
Hamba hukum yang memang harus lebih satu langkah katimbang penjahat, tak
mau kalah pasal. Akhirnya, terpidana masuk penjara secara bergelombang. Entah
sesuai masa hukuman atau faktor lainnya. Akhirnya semua merasakan mendekam di
hotel prodeo. Sambil temu warga, tak merasa jemu.
Lompat jauh setelah pasca Proklamasi. Tepatnya pasca bergulirnya reformasi
mulai dari pucaknya, 21 Mei 1998. Nusantara sebagai negara berkembang melaju
deras. Dukungan layar berlogo aneka partai politik. Layar utama sampai layar
pelengkap penderita.
Efektivitas negara multipartai menambah kemanfaatan pasal biaya politik,
ongkos politik. Kalkulasi politik, dua periode belum impas. Melebih aturan main
melunasi ULN. Sindikat politik tak kenal kompromi. Kian cepat lunas, lunas
sebelum jatuh tempo malah ditambah modal politiknya.
Dapil identik dengan sumber dana segar terpendam. Persaingan membuat pihak
terkait, siap saling melibas dalam lipatan. Siapa cepat, nekat menggali belum
tentu dapat. Alat keruk lokal kalah dengan nasional. Elite lokal yang dekat
dengan rakyat, mudah menggalang dana demi pembangunan daerah.
Kepentingan partai politik bisa mengalahkan kebutuhan rakyat di semua
tingkatan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar