Halaman

Selasa, 21 September 2021

kekuatan hidup manusia nusantara

 kekuatan hidup manusia nusantara

 Filosofi berkehidupan wong, manusia lintas zaman, tergantung sisa tarikan nafas terakhir. Masih ada ungkapan “ngemut leglné gula” alias 'mengulum manisnya gula'. Kehidupan manusia dari lahirnya tampak menyenangkan.

 Paribasan basa Jawa menyebut “sing bisa mati sajroning urip Ian urip sajroning mati”. Pastilah yang dapat mati dalam hidup dan hidup dalam meninggal. Hendaknya dapat mati dalam hidup dan hidup dalam mati. Bentukan lain yang lebih bernas, yaitu “jaréne-jaréné wong Jawa, kesempurnaan hidup vs kehidupan sempurna”, date modified 10/18/2020 10:28 AM.

 Émpirisme yang mendasari wujudan filasafat Jawa tidak bertentangan dengan aspek berketuhanan. Kendati rumusan berketuhanan menjadi sila pertama dasar negara. Bahasa dan mata manusia merasakan semua berada dalam kesatuan dengan Tuhan. Seorang manusia terlahir sebagai makhluk sempurna. Tergantung ilmu berketuhanan kedua orang tuanya mau menjadikan apa. Wajar jika terujar, terajar bahwasanya filsafat Jawa berketuhanan berarti ngudi kasampurnan (usaha mencari kesempurnaan). Pihak lain mengatakan dengan bangga jika filsafat Barat adalah ngudi kawicaksanan (mencari kebijaksanaan).

 Rasa malu diri sudah bukan menjadi faktor pertimbangan dalam melakoni kehidupan. Ingat petuah “yèn isin malah ora isi”. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar