ujaran nasib harian pribumi, "padha wingi"
Wajar tanpa kurang ajar. Usai makan baru cuci mulut dan bersihkan
tangan. Dalih cari aman, usai lempar ujaran lisan langsung cuci tangan. Tanpa malu,
kerajinan ujung jari menulis di kanal media sosial gratisan.
Paribasan tuna satak bathi sanak, artinya rugi harta namun laba, untung dapat tambahan
saudara (pembeli). Rumus ini berlaku bagi pedagang kecil atau usaha warung
rumah tangga. Kerennya, indstri rumah tangga yang tampak murahan. Barang pakai dulu,
bayar nanti-nanti. Jika ingat dan andai ingat. Utamakan kerukunan antar
tetangga, pembeli.
Bagaimana anak bangsa pribumi yang santai dengan
keprimitifannya. Hari ini lebih baik ketimbang hari kemarin. Diantisipasi dengan
modus borongan. Kalau bisa semua diraup, mengapa cuma sak raupan. Etos kerja
pun sama rasa. Kalau masih ada waktu dikerjakan besok, jangan keburu dituntaskan
sekarang.
Hari ini lebih banyak daripada kemarin. Ini semboyan yang
pas, betul dan seharusnya. Tanpa diingatkan, putra-putri asli daerah semangat
membara. Adu nyali, sigap tampil diri. Yang mana dimana paribasan wedi wirang wani mati, dimaksudkan ‘takut malu berani mati’. Oleh generasi
tanpa batasan usia, digubah laras menjadi wani wirang wedi mati.
Kenapa takut malu. Banyak konco sesama pengguna aktif
medsos yang unjuk pandir diri.
Yang konstituennya berupa predikat-pelengkap, misalnya: adol umuk. Terjemahaan polos: menjual sombong,
'menyombongkan diri’. Mau yang lebih bergensi. Simak paribasan umuké kaya mutung-mutungna wesi gligen. 'Sombongnya
seperti (dapat) mematahkan besi batangan’. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar