Halaman

Kamis, 14 Maret 2019

ketika sang waktu berlagak ogah-ogahan


ketika sang waktu berlagak ogah-ogahan

Detik waktu sampai berakhirnya waktu, akan tetap selalu patuh. Tak ada niat sedetik pun untuk cuti. Tak terlintas untuk memakai jalan pintas. Tak bisa tiba-tiba main salip. Tetap berproses.

Akankah rangkaian kehidupan yang merupakan keterpaduan gerak aksi tindakan manusia berhimpitan, beriringan atau sejajar dengan dampak tindak sebelumnya. PR masa lalu – tepatnya beberapa detik yang telah liwat – belum tuntas. Menuntut dituntaskan bersamaan tindakan baru.

Mengapa tiba-tiba kita menghéla napas panjang. Apakah irama kinerja jantung yang santai berdampak. Sehingga asupan oksigen mengganggu sistem tubuh. Boros energi. Tanpa sadar, kita melakukan pekerjaan setan yaitu menguap bebas. Tanpa berusaha menutupi mulut. Diiringi geliat badan tanda penat, jenuh.

Waktu tak pernah protes jika terbuang percuma. Juga tak pernah tepuk dada dianggap sebagai uang. Kedudukan atau kemuliaan waktu, Allah swt bersumpah demi waktu. Manusia selaku pengguna aktif waktu, dituntut untuk memanfaatkan waktu.

Interaksi waktu dengan kejadian alam menjadi satu kesatuan. Saling menyangatkan. Saling menguatkan. Manusia masuk ke sistem dimaksud, tak ada waktu untuk lengah sekejap pun. Juga tak bisa seenak diri main gas. Sinar butuh waktu untuk sampai ke mata manusia. Suara perlu waktu untuk sampai telinga manusia. Akankah sinar dan atau suara bisa berhenti sejenak. Seperti ada lampu merah, atau kereta api mau liwat. Akankah akan terjadi pemapatan, pemadatan.

Arus air sungai bisa dibendung. Pada kapasitas tertentu, bisa menjadi sumber bencana.

Daya waktu seolah tak terukur. Sejarah tentang waktu, akan kalah laju dengan edaran sang waktu. Beban waktu karena manusia tidak mau bersahabat dengan waktu. Lima waktu menjadi batasan beraktivitas bagi umat Islam. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar