Halaman

Kamis, 07 Maret 2019

anomali pola éksodus suara pemilih 2019


anomali pola éksodus suara pemilih 2019

Cerdas politik atau praktik demokrasi Nusantara hanya melihat peta politik sesuai teritorial fisik. Sedikit berklas, bercanda dengan status, kasta, strata, klas sosial. Kantong kemiskinan identik dengan rakyat miskin. Plihan rakyat seolah sudah turun-temurun. Khususnya model pemilu pasca reformasi 21 mei 1998.

Daerah secara adminstrasi pun bisa masuk daerah kurang beruntung. Kalah laju dengan wilayah administrasi lain yang sederajat. Tidak hanya pada satu provinsi. Bahkan di satu kabupaten / kota, pemerataan menyangkut di tempat ‘basah’. Hujan tidak merata. Ironis binti miris, semangat membelah diri alias daerah otonomi baru, tetap membara.

Tak salah, jika bahan baku galian Pancasila ada pangkuan Ibu Pertiwi. Adat, adab, rukun, budaya berpolitik ala rakyat menjadikan bangsa ini tetap utuh, bersatu. Secara hirarkis piramidal, penyandang nasib miskin bakat, keturunan, trah miskin menjadi pondasi bangsa.

Survei oleh lembaga survei yang jam terbangnya mengangkasa, hanya menggunakan bahasa bumi, bahasa manusia, bahasa fisik.

Tahun politik 2018 yang meluber ke 2019. Batasan atau norma menembus batas waktu dan sekat ruang. Tergoyahkan secara sistematis. Yang siap justru yang semula tidak tahu. Mereka, entah seberapa populasi dan identitas politiknya, bak gayung bersambut.

Ormas Islam tertentu, menjadi katalisator membangkitkan raksasa tidur. Mengandalkan daya religi, asyik-asyik atur lalu lintas nikmat dunia. Kata ahlinya, kaki kanan berpijak di mana, kaki kiri menapak di mana. Kejelian penguasa menitipkan keamanan bukan ke pihak berwajib. Tetapi ke tokoh atau biang keroknya.

Masih ada anak bangsa pribumi, bumiputera, putra-putri asli daerah yang Indonesia banget. Sebagai pemilik mulia kalbu, kandungan utama insting yang disebut dengan al-nur al-ilahiy (cahaya ketuhanan), dan al-bashirah al-bathinah (mata batin), sumber energi keimanan dan keyakinan.

Semakin tekanan, intimidasi politik menggila, ‘pemilik kalbu’ ini kian arif, bijak dan tahu diri. Terjaga dalam batasan teritorial lingkungan spiritual, ketuhanan, dan keagamaan. Mereka bebas kontaminasi. Muncul di saat yang tepat. Selama ini tak tersentuh, terjangkau publikasi.[HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar