éféktivitas calistung anak bangsa pribumi, menggerogoti
moral masa depannya
Prinsip negara maju, semacam negara tetangga yang benua. “Lebih
baik anaknya tak bisa matematika, tapi mau antri”. Ikhwal ini beda atau tak
berlaku di Nusantara. Mata pelajaran ‘tung’
pada calistung, sampai pendidikan tinggi.
Kehidupan bermasyarakat, memakai rumus hidup ‘rame ing gawe, sepi ing pamrih’. Melakoni hidup tidak pakai itung-itungan. Adab bermasyarakat, menjadi cikal bakal bahan baku
galian Pancasila. Ramuan gotong royong, guyub rukun. Dioplos dengan tepo sliro. Serta konsep watak yang benar dan baik adalah.
“Dadi wong, aja tangung-tagggung, dadio wong sing becik, apik“, ujar kebajikan atau kata bijak turun temurun.
Perjalanan waktu. Yang mana dimana setiap sejarah
melahirkan tokoh dan atau setiap tokoh mencetak sejarahnya.
Babakan kehidupan, apakah berulang atau mengalami
degradasi. Percepatan waktu, jelas tidak. Karena sang penentu waktu waktu konsisten
dengan ketaatannya. Koordinasi antara matahari dengan bulan, rotasi. Sampai bisa
dibuat rumusnya. Kapan akan ada gerhana.
Dinamika kehidupan manusia yang dibingkai bersatu
mencapai tujuan hidup bersama. Efek domino negara multipartai. Diimbangi krisis
negarawan, paceklik kepemimpinan nasional. Menu olok-olok politik, berbasis ‘calis’,
bak mengundang bencana politik.
Hasil pesta demokrasi dengan pengaturan skore, bahwasanya
juara umum akan menyabet semua kursi. Maka dari itu, muncul paribasan ‘becik ketampik, ala
ketampa’. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar