pribumi durhaka vs pengkhianat negara
Berkat Perubahan Ketiga (tahun 2001) UUD NRI 1945,
tersurat kata, lema ‘khianat’. Berupa atau menjadi ‘mengkhianati’ (tersurat sekali) berlaku untuk Calon Presiden dan
calon Wakil Presiden; dan ‘pengkhianatan’ (tersurat
3x) berlaku buat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Namun kiranya ternyata yang dimaksud dengan “pengkhianat
negara” belum dijelaskan secara terstruktur. UU RI 24/2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Pasal 10 menyebutkan “pengkhianatan terhadap negara adalah tindak
pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang”.
Cekak aos. UU tentang Organisasi Kemasyarakatan, termasuk
Perpu-nya, menjelaskan: Yang dimaksud dengan "tindakan permusuhan” adalah ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik
secara lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik maupun tidak
melalui media elektronik yang menimbulkan kebencian, baik terhadap kelompok tertentu
maupun terhadap setiap orang termasuk ke penyelenggara negara.
Demikianlah adanya. Lepas dari fakta dan data. Bukan
sekedar katanya atau menurut kabar. Propanganda, promosi, provokasi menjadi
bagian integral menjaga wibawa negara. Tulang punggung modus pencitraan.
Pertimbangan atas ditetapkannya UU 30/2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi antara lain bahwa korupsi telah merugikan
keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.
Dampak, efek, ekses tipikor tidak seperti dampak tindak
pidana teroris (a.l hilangnya nyawa tanpa memandang korban, ketakutan
masyarakat secara luas, dan kerugian harta benda) maupun dampak kinerja bandar
penjual, pengedar narkoba (merusak generasi yang belum lahir).
Tak heran, di mata hukum, jika pasca pidana penjara,
hukuman denda atau dimiskinkan, mantan napi tetap eksis. Apalagi jika pembela
hukumnya, sudah membela secara luar biasa. Ingat norma reliji, tipikor adalah
mengkhianati dirinya sendiri. Eks koruptor bebas ajukan diri ikut pemilu legislatif
Aaatnya pemerintah menetapkan bahwa koruptor adalah
pengkhianat negara. Stigma, labelisasi ini diharapkan membuat efek jera.
Slentingan ringan. Apa yang dimaksud dengan “penyakit
politik”. Belum ada berita resmi berbasis legislasi. Bahkan RPJMN 2019-2024
masih malu-malu menyebutkan borok diri dimaksud.
Beda dengan “penyakit masyarakat” yang jelas, gamblang
menjadi wewenang, bidang garap polisi si pengayom masyarakat. Simak di UU
2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Jangan coba-coba mengkaitkan dengan istilah musuh rakyat.
Tindakan permusuhan sebatas penjelasan, bebas sanksi. Generasi yang mewakili
teritorial atau representasi suku, agama, ras, atau golongan. Ahli, pelaku
aktif, peolok-olok politik bebas gangguan jiwa. Dipelihara oleh negara. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar