produk partai petelur, petarung sejati vs petarung
polesan
Pemersatu bangsa terletak pada pola hidup, gaya hidup dan
pandangan hidup rakyat. Sosok dan profil rakyat seolah tak pernah mengalami
perubahan drastis. Sikap lugu, apa adanya, sederhana. Mungkin budaya lokal nginang sudah surut penggemar. Pengolah dubang kian susut.
Serbuan produk makanan ringan dalam kemasan sampai warung
rakyat. Kepala keluarga rumah tangga miskin, menjadi korban lambang iklan
status pria pejantan. Ahli hisap rokok. HET terjangkau dan tersedia kapan saja.
Popuilasi rakyat ini ditandai dengan kualifikasi, klasifikasi
kemiskinan. Antar periode menjadi obyek pertaruhan popularitas dan
elektabilitas pemerintah. Tolok ukur sukses pembangunan pada pengurangan angka
kemiskinan.
Keluarga berencana dengan model catur warga alias cukup
dua anak. Menjadi resep rakyat berkeluarga sederhana. Juga tidak. Semboyan
banyak anak banyak rezeki. Tiap anak membawa rezekinya masing-masing.
Garis tangan antar anak manusia tak ada yang sama. Sama
karakter belum pasti sama nasib. Antar saudara kandung banyak terdapat
perbedaan. Kondisi tertentu bisa bertolak belakang.
Mulai kapan, bilamana pergerakan rakyat diperhitungkan
semua pihak. Bukan sekedar angka. Praktik demokrasi liwat pemilihan umum, masih
memperhitungan suara pemilih. Bagaimana rakyat menggunakan hak pilih dengan
cerdas, tak masuk agenda PR pemerintah.
Jabatan kepala desa secara tradisional dipandang sebagai ketua,
ketokohan, panutan atau pola adat lokal. Desa identuik dengan kemiskinan. Bergerak
menjauhi stigma. Bidan desa, ujung tombak suksesnya program KB Catur Warga.
Dana Desa. Desa mempunyai anggaran. Tampil seksi, laku
genit diperebutkan pihak yang merasa berkepentingan. Kemiskinan dianggarkan
menurun. Model ‘otot desa wajah kota’ idola emak-emak. Kearifan desa diformat
sebagai pengguna anggaran. Asas yang seharusnya, yang sebaiknya menjadi rumusan
daya kelola.
Pembangunan desa bukan membalik peradaban lokal menjadi
global. Bukan mencabut akar peradaban yang sudah menjadi penunjang hajat rakyat
desa.
Anak desa adalah petarung sesuai klasnya, mengahadapi fakta
kehidupan. Tak perlu pakai topeng bertanduk. Tak perlu polesan rias garang. Juka
bukan wajah penghiba-hiba. Jauh dari raut
paras sayu kemayu, kalem nanging geleman. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar