Halaman

Rabu, 06 Maret 2019

produk partai petelur, petarung sejati vs petarung polesan


produk partai petelur, petarung sejati vs petarung polesan

Pemersatu bangsa terletak pada pola hidup, gaya hidup dan pandangan hidup rakyat. Sosok dan profil rakyat seolah tak pernah mengalami perubahan drastis. Sikap lugu, apa adanya, sederhana. Mungkin budaya lokal nginang sudah surut penggemar. Pengolah dubang kian susut.

Serbuan produk makanan ringan dalam kemasan sampai warung rakyat. Kepala keluarga rumah tangga miskin, menjadi korban lambang iklan status pria pejantan. Ahli hisap rokok. HET terjangkau dan tersedia kapan saja.

Popuilasi rakyat ini ditandai dengan kualifikasi, klasifikasi kemiskinan. Antar periode menjadi obyek pertaruhan popularitas dan elektabilitas pemerintah. Tolok ukur sukses pembangunan pada pengurangan angka kemiskinan.

Keluarga berencana dengan model catur warga alias cukup dua anak. Menjadi resep rakyat berkeluarga sederhana. Juga tidak. Semboyan banyak anak banyak rezeki. Tiap anak membawa rezekinya masing-masing.

Garis tangan antar anak manusia tak ada yang sama. Sama karakter belum pasti sama nasib. Antar saudara kandung banyak terdapat perbedaan. Kondisi tertentu bisa bertolak belakang.

Mulai kapan, bilamana pergerakan rakyat diperhitungkan semua pihak. Bukan sekedar angka. Praktik demokrasi liwat pemilihan umum, masih memperhitungan suara pemilih. Bagaimana rakyat menggunakan hak pilih dengan cerdas, tak masuk agenda PR pemerintah.

Jabatan kepala desa secara tradisional dipandang sebagai ketua, ketokohan, panutan atau pola adat lokal. Desa identuik dengan kemiskinan. Bergerak menjauhi stigma. Bidan desa, ujung tombak suksesnya program KB Catur Warga.

Dana Desa. Desa mempunyai anggaran. Tampil seksi, laku genit diperebutkan pihak yang merasa berkepentingan. Kemiskinan dianggarkan menurun. Model ‘otot desa wajah kota’ idola emak-emak. Kearifan desa diformat sebagai pengguna anggaran. Asas yang seharusnya, yang sebaiknya menjadi rumusan daya kelola.

Pembangunan desa bukan membalik peradaban lokal menjadi global. Bukan mencabut akar peradaban yang sudah menjadi penunjang hajat rakyat desa.

Anak desa adalah petarung sesuai klasnya, mengahadapi fakta kehidupan. Tak perlu pakai topeng bertanduk. Tak perlu polesan rias garang. Juka bukan wajah penghiba-hiba. Jauh dari  raut paras sayu kemayu, kalem nanging geleman. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar