Halaman

Kamis, 07 Maret 2019

menulislah sampai tak lagi dapat menatap ujung hidung


menulislah sampai tak lagi dapat menatap ujung hidung

Jum’at penghulu hari. Umat Islam menyambut bak hari raya. Doa kamisan. Anak kirim doa, mohon ampunan-Nya atas segala kurang, salah, khilaf kedua orang tua saat melaksanakan perintah-Nya dengan benar, baik sekaligus mematuhi larangan-Nya dengan kuat, total.

Lelaki ahli masjid menyiapkan diri dengan saksama. Memakmurkan masjid jum’atan. Niaga atau urusan dunia, sementara waktu tutup. Kewajiban khatib mengingatkan dirinya dan jama’ah untuk menjaga derajat taqwa. Antar jum’at menhgalami pasang surut.

Penulis pun menyambut berkah jum’at, tutup laptop. Minimal mengurangi jam kerja. Aneka inspirasi menyeruak sejak jelang azan subuh. Yang tak pernah terpikirkan, begitu saja melintas. Tinggal diproses dan dicerna dalam hati. Artinya, biarkan qalbu yang bicara. Akal pikir manusia sigap menterjemahkannya.

Apakah hasil olahkata beda dengan hari lain. Bukan beda. Pukul rata menambah bobot.

Batasan waktu jelang tengah hari. Antara menunggu waktu dan memanfaatkan sisa waktu. Bahasa bumi, bahasa manusia tidak mampu menterjemahkan kata hati. Kian ambil nafas panjang, tanda gelisah diri. Perenungan kian fokus ke ajakan bersegera ke masjid. Kendati lokasi masjid terjangkau dengan langkah kaki. Tetap jangan lengah dan santai.

Olahkata tak harus tuntas. Tayang satu judul sudah memenuhi standar kepuasan diri.

Masukan materi, substansi, narasi khutbah bisa menjadi bahan baku. Memvermak olahkata yang tertunda. Atau menambah tulisan dengan judul berbeda. Aspek bisa mirip. Kembang-kempis hidung pratanda. Berani sudahi dan siap tayang. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar