menulislah sampai tak lagi dapat menatap ujung hidung
Jum’at penghulu hari. Umat Islam menyambut bak hari raya.
Doa kamisan. Anak kirim doa, mohon ampunan-Nya atas segala kurang, salah,
khilaf kedua orang tua saat melaksanakan perintah-Nya dengan benar, baik
sekaligus mematuhi larangan-Nya dengan kuat, total.
Lelaki ahli masjid menyiapkan diri dengan saksama. Memakmurkan
masjid jum’atan. Niaga atau urusan dunia, sementara waktu tutup. Kewajiban khatib
mengingatkan dirinya dan jama’ah untuk menjaga derajat taqwa. Antar jum’at
menhgalami pasang surut.
Penulis pun menyambut berkah jum’at, tutup laptop. Minimal
mengurangi jam kerja. Aneka inspirasi menyeruak sejak jelang azan subuh. Yang tak
pernah terpikirkan, begitu saja melintas. Tinggal diproses dan dicerna dalam
hati. Artinya, biarkan qalbu yang bicara. Akal pikir manusia sigap menterjemahkannya.
Apakah hasil olahkata beda dengan hari lain. Bukan beda. Pukul
rata menambah bobot.
Batasan waktu jelang tengah hari. Antara menunggu waktu
dan memanfaatkan sisa waktu. Bahasa bumi, bahasa manusia tidak mampu
menterjemahkan kata hati. Kian ambil nafas panjang, tanda gelisah diri. Perenungan
kian fokus ke ajakan bersegera ke masjid. Kendati lokasi masjid terjangkau
dengan langkah kaki. Tetap jangan lengah dan santai.
Olahkata tak harus tuntas. Tayang satu judul sudah
memenuhi standar kepuasan diri.
Masukan materi, substansi, narasi khutbah bisa menjadi
bahan baku. Memvermak olahkata yang tertunda. Atau menambah tulisan dengan judul
berbeda. Aspek bisa mirip. Kembang-kempis hidung pratanda. Berani sudahi dan
siap tayang. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar