Indonesia berseteru dengan bayangan sendiri
Bukan cerita fiktif, dongeng rekaan pengantar tidur anak
atau rekayasa sosial berencana.
Komposisi atau kandungan ideologi politik dalam negeri,
menjadikan bangsa lain harus ekstra waspada. Mana kawan mana lawan tergantung
kepentingan. Mana sekutu mana seteru sesuai kesepakatan. Mana sahabat mana
musuh ditentukan sistem bagi hasil.
Pemerintah sudah super sibuk mengatur perilaku
penyimpangan politik dan kehilangan orientasi politik Nusantara
Bagimana tindak tanduk, sepak terjang, modus operandi
kawanan manusia politik mewujudkan “kepentingan politik anggota”. Lihat pada
praktik 24 jam demokrasi Nusantara. Koalisi parpol pro-pemerintah, lawan
politik serta olok-olok politik lainnya, efek domino negara multipartai.
Penyakit politik manalagi yang akan distandarisir, dilegalkan, dipelihara oleh
negara.
Cekak aos. UU tentang Organisasi Kemasyarakatan, termasuk
Perpu-nya, menjelaskan: Yang dimaksud dengan "tindakan permusuhan” adalah ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik
secara lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik maupun tidak
melalui media elektronik yang menimbulkan kebencian, baik terhadap kelompok
tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke penyelenggara negara.
Paket keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan menjadi
musuh besar, lawan utama pemerintah Orde Baru. Pelita (pembangunan lima tahun)
demi pelita dicanangkan dan dipraktikkan. Bagi pihak yang berseberangan dengan
gaya pemerintah, mendapat stigma anti kemapanan. Menghadapi “lawan politik”,
penguasa Orde Baru menggunakan modus, kalau tidak mau dirangkul, akan segera
didengkul.
Jelas saja karena di éra mégatéga 2014-2019, poltik
adalah penentu nasib bangsa. Maka pihak yang masuk kamus “lawan politik” jangan
dikasih ampun. Petugas partai yang merangkap jabatan sebagai kepala negara
punya ilmu ‘gebuk duluan, rembuk belakangan’. Tidak pakai lama. Artinya, tak
perlu mikir. Modal pro-rakyat, seolah memperdulikan nasib akar rumput. Semua
bisa diatur.
“Musuh negara” adalah pihak orang dalam, konco dw,
lingkar pertama, relawan, partisan, simpatisan, bolo dupak, loyalis total
jenderal yang merongrong wibawa negara. Soal tindak ulah orang luar, bagian
dari konspirasi, skenario dari investor politik negara lain, hanya dianggap
rekanan. Tidak masuk pasal menghina kepala negara.
Banyak yang merasa menang di atas kertas. Karena merasa
menang pengalaman, menang jam terbang, menang rekam jejak. menang lahir duluan,
menang tua, menang pengaruh, menang kuasa, menang massa, menang jumlah, menang
dukungan dana, menang penguasaan medan, menang taktik, menang strategi, menang
berani malu, menang suara, menang tanpa tanding. Bukan kekuatan lawan yang
diperhitungkan, justru kemampuan diri yang harus ditakar. Bukan memamerkan
deretan jasa atau rangkaian ceritera sukses yang dipajang, justru kenalilah
kelemahanmu.
Orang memulai segala sesuatu dari kekurangan dan
kelemahan. Manfaatkan waktu sehatmu, sebelum datang sakit. Manfaatkan waktu
mudamu, sebelum tua. Manfaatkan waktu luangmu, sebelum sempit. Manfaatkan
kekayaanmu, sebelum miskin. Manfaatkan sisa nafasmu, sebelum kehabisan nafas.
Manfaatkan masa lampaumu, sebelum datang masa depan. Manfaatkan masa kinimu,
sebelum tertelan zaman. Manfaatkan kemenanganmu, seolah-olah kamu hidup
selamanya.
Jangankan koordinasi, koalisi, kolaborasi kaki dengan
tangan. Antara tangan kanan dengan tangan kiri acap tak seia-sekata. Maunya
jalan sendiri-sendiri. Punya kesibukan mandiri. Kok tangan bisa jalan sendiri.
Apalagi kaki. Wajar, kaki saling menyalip. Tak wajar jika saling menjegal.Di lapangan, di tempat kejadian perkara, di lokasi atau
asal-muasal peristiwa bencana politik. Mufakat untuk musyawarah. Serahkan asas
‘sepakat untuk sepakat’ kepada mekanisme, kekuatan, sentimen
pasar global. Tangan tak terlihat, itulah yang mendominasi peradaban politik
Nusantara. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar