Halaman

Rabu, 27 Maret 2019

Indonesia berseteru dengan bayangan sendiri


Indonesia berseteru dengan bayangan sendiri

Bukan cerita fiktif, dongeng rekaan pengantar tidur anak atau rekayasa sosial berencana.

Komposisi atau kandungan ideologi politik dalam negeri, menjadikan bangsa lain harus ekstra waspada. Mana kawan mana lawan tergantung kepentingan. Mana sekutu mana seteru sesuai kesepakatan. Mana sahabat mana musuh ditentukan sistem bagi hasil.

Pemerintah sudah super sibuk mengatur perilaku penyimpangan politik dan kehilangan orientasi politik Nusantara

Bagimana tindak tanduk, sepak terjang, modus operandi kawanan manusia politik mewujudkan “kepentingan politik anggota”. Lihat pada praktik 24 jam demokrasi Nusantara. Koalisi parpol pro-pemerintah, lawan politik serta olok-olok politik lainnya, efek domino negara multipartai. Penyakit politik manalagi yang akan distandarisir, dilegalkan, dipelihara oleh negara.

Cekak aos. UU tentang Organisasi Kemasyarakatan, termasuk Perpu-nya, menjelaskan: Yang dimaksud dengan "tindakan permusuhan” adalah ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik secara lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik maupun tidak melalui media elektronik yang menimbulkan kebencian, baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke penyelenggara negara.

Paket keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan menjadi musuh besar, lawan utama pemerintah Orde Baru. Pelita (pembangunan lima tahun) demi pelita dicanangkan dan dipraktikkan. Bagi pihak yang berseberangan dengan gaya pemerintah, mendapat stigma anti kemapanan. Menghadapi “lawan politik”, penguasa Orde Baru menggunakan modus, kalau tidak mau dirangkul, akan segera didengkul.

Jelas saja karena di éra mégatéga 2014-2019, poltik adalah penentu nasib bangsa. Maka pihak yang masuk kamus “lawan politik” jangan dikasih ampun. Petugas partai yang merangkap jabatan sebagai kepala negara punya ilmu ‘gebuk duluan, rembuk belakangan’. Tidak pakai lama. Artinya, tak perlu mikir. Modal pro-rakyat, seolah memperdulikan nasib akar rumput. Semua bisa diatur.

“Musuh negara” adalah pihak orang dalam, konco dw, lingkar pertama, relawan, partisan, simpatisan, bolo dupak, loyalis total jenderal yang merongrong wibawa negara. Soal tindak ulah orang luar, bagian dari konspirasi, skenario dari investor politik negara lain, hanya dianggap rekanan. Tidak masuk pasal menghina kepala negara.

Banyak yang merasa menang di atas kertas. Karena merasa menang pengalaman, menang jam terbang, menang rekam jejak. menang lahir duluan, menang tua, menang pengaruh, menang kuasa, menang massa, menang jumlah, menang dukungan dana, menang penguasaan medan, menang taktik, menang strategi, menang berani malu, menang suara, menang tanpa tanding. Bukan kekuatan lawan yang diperhitungkan, justru kemampuan diri yang harus ditakar. Bukan memamerkan deretan jasa atau rangkaian ceritera sukses yang dipajang, justru kenalilah kelemahanmu.

Orang memulai segala sesuatu dari kekurangan dan kelemahan. Manfaatkan waktu sehatmu, sebelum datang sakit. Manfaatkan waktu mudamu, sebelum tua. Manfaatkan waktu luangmu, sebelum sempit. Manfaatkan kekayaanmu, sebelum miskin. Manfaatkan sisa nafasmu, sebelum kehabisan nafas. Manfaatkan masa lampaumu, sebelum datang masa depan. Manfaatkan masa kinimu, sebelum tertelan zaman. Manfaatkan kemenanganmu, seolah-olah kamu hidup selamanya.

Jangankan koordinasi, koalisi, kolaborasi kaki dengan tangan. Antara tangan kanan dengan tangan kiri acap tak seia-sekata. Maunya jalan sendiri-sendiri. Punya kesibukan mandiri. Kok tangan bisa jalan sendiri. Apalagi kaki. Wajar, kaki saling menyalip. Tak wajar jika saling menjegal.Di lapangan, di tempat kejadian perkara, di lokasi atau asal-muasal peristiwa bencana politik. Mufakat untuk musyawarah. Serahkan asas ‘sepakat untuk sepakat’ kepada mekanisme, kekuatan, sentimen pasar global. Tangan tak terlihat, itulah yang mendominasi peradaban politik Nusantara. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar