memformat ulang penyakit politik Nusantara
Apa yang dimaksud dengan “penyakit politik”, sejauh ini
belum dijelaskan oleh UU. Bahkan RPJMN 2019-2024 masih malu-malu menyebutkan
borok diri dimaksud.
Beda dengan “penyakit masyarakat” yang jelas, gamblang menjadi
wewenang, bidang garap polisi si pengayom masyarakat. Simak di UU 2/2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kajian akademis, gelar perkara, debat bebas aktif, lepas
dari hubungan diplomatik dengan modus survei berbayar. Narasi berbasis penyakit
politik masih tersedia. Sekilas kilas, sepertinya pelaku utama penyakit
politik, tak merasa. Dibilang bangga jika ada yang tertangkap tangan.
Dimungkinkan, tiap partai politik mempunyai penyakit
politik bawaan. Atau menjadi trade mark. Pada
strata tertentu, sumber energi sebuah parpol bisa dilihat pada komponen, kandungan
komposisi penyakit politiknya.
Saya cuplik Rencana Strategis Kementerian Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tahun 2015-2019 secara acak. Hasilnya:
Kontelasi geo-politik global akan menjadi tantangan,
khususnya bagi negara yang terbuka dan luas seperti Indonesia. Kontelasi
politik global ditandai dengan munculnya aktor non-negara yang memiliki kapasitas dan jejaring internasional. Terorisme global dan
indikasi perang teknologi informasi merupakan salah satu bentuk ancaman terhadap
keamanan negara yang masih akan dihadapi.
Indonesia secara geo-politik akan menghadapi kepentingan
negara-negara terdekat dalam konsentriknya seperti negara-negara anggota ASEAN
dan Asia Pasifik, negara-negara yang berkepentingan dengan sumber daya alam
termasuk perikanan, negara-negara yang memiliki armada niaga besar, memiliki
kekuatan maritim, dan negara-negara besar dalam rangka mencapai tujuan global
strateginya.
Cukup dua alenia. Rasanya, oleh karena itu seyogyanya Indonesia
lebih mengutamakan bangsa sendiri. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar