Halaman

Sabtu, 09 Maret 2019

DNA politik pribumi Nusantara, agraris vs karhutla


DNA politik pribumi Nusantara, agraris vs karhutla

Fanatisme berpartai politik anak bangsa pribumi murni Nusantara sedemikannya. Menjadi industri, doktrin, dogma, simbol, berhala dan idiom. Idiom masuk kuadaran, ranah berbasis ‘hidup’. Termasuk peribahasa ‘hidup segan, mati enggan’.

Penyakit politik memuat janji nikmat dunia. Partai menjadi agama bumi yang menentukan nasib bangsa selama lima tahun ke depan. Jabatan karir pemerintah, bisa dijungkirbalikkan demi politik balas jasa, balas budi sekaligus politik balas dendam. Siapa mau jadi apa. Siapa saja bisa menjadi apa saja.

Norma kehidupan berbangsa pun bisa diacak bebas. Diformat ulang sampai generasi tak bertulang. Dalih skenario semiglobal. Tanpa hak protes. Rakyat tetap sebagai obyek.

Pendewaan seseorang menjadi lagu wajib anak partai. Posisi oknum ketua umum yang berhak prerogatif melebihi kepala negara. Asas kepatuhan dan ketaatan menjadi pasal penentu.

Sehebat-hebat manusia politik, masih kalah langkah dengan gebrakan manusia ekonomi. Mesin politik parpol penguber kemenangan pesta demokrasi, BBM-nya bukan daya ideologi. Asumsi berangkat dari prihatin rakyat, hanya pemanis bibir. Rakyat kian cerdas berbangsa. Rakyat pemilik seutuhnya masyarakat, penduduk, warga negara atau sebutan semaksud lainnya.

Fakta sejarah. Kemanfaatan, efektivitas produk TIK, maupun UU ITE. Sebut saja, adalah “asas manfaat” berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Akhirnya, generasi tanpa batasan umur dan atau usia, masuk teritorial ‘tanpa batas jarak tempat dan bebas sekat waktu’. Banyak yang matang sebelum waktu. Banyak yang rontok sebelum jatuh tempo. Tidak hanya penyandang gelar akademis. Bahkan kalangan ahli religi. Ikut-ikutan mabuk nikmat dunia.

Bangga dan cukup puas hanya sebagai peolok-olok politik. Merasa dirinya di atas daya kerja ‘setan ora doyan, demit ora ndulit’. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar