DNA politik pribumi Nusantara, agraris vs karhutla
Fanatisme berpartai politik anak bangsa pribumi murni
Nusantara sedemikannya. Menjadi industri, doktrin, dogma, simbol, berhala dan
idiom. Idiom masuk kuadaran, ranah berbasis ‘hidup’. Termasuk peribahasa ‘hidup
segan, mati enggan’.
Penyakit politik memuat janji nikmat dunia. Partai menjadi
agama bumi yang menentukan nasib bangsa selama lima tahun ke depan. Jabatan karir
pemerintah, bisa dijungkirbalikkan demi politik balas jasa, balas budi
sekaligus politik balas dendam. Siapa mau jadi apa. Siapa saja bisa menjadi apa
saja.
Norma kehidupan berbangsa pun bisa diacak bebas. Diformat
ulang sampai generasi tak bertulang. Dalih skenario semiglobal. Tanpa hak
protes. Rakyat tetap sebagai obyek.
Pendewaan seseorang menjadi lagu wajib anak partai. Posisi
oknum ketua umum yang berhak prerogatif melebihi kepala negara. Asas kepatuhan
dan ketaatan menjadi pasal penentu.
Sehebat-hebat manusia politik, masih kalah langkah dengan
gebrakan manusia ekonomi. Mesin politik parpol penguber kemenangan pesta
demokrasi, BBM-nya bukan daya ideologi. Asumsi berangkat dari prihatin rakyat, hanya
pemanis bibir. Rakyat kian cerdas berbangsa. Rakyat pemilik seutuhnya
masyarakat, penduduk, warga negara atau sebutan semaksud lainnya.
Fakta sejarah. Kemanfaatan, efektivitas produk TIK, maupun
UU ITE. Sebut saja, adalah “asas manfaat” berarti asas bagi pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Akhirnya, generasi tanpa batasan umur dan atau usia,
masuk teritorial ‘tanpa batas jarak tempat dan bebas sekat waktu’. Banyak yang
matang sebelum waktu. Banyak yang rontok sebelum jatuh tempo. Tidak hanya
penyandang gelar akademis. Bahkan kalangan ahli religi. Ikut-ikutan mabuk
nikmat dunia.
Bangga dan cukup puas hanya sebagai peolok-olok politik. Merasa
dirinya di atas daya kerja ‘setan ora doyan, demit ora ndulit’. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar