rasa khawatir menjadi kontrol diri
Bisa-bisanya judul. Bukan kata bijak. Masih sebagai
bahasa bumi. “Ketemu
pirang perkoro”, jaré mbokdé mukiyo. Model ‘kuatir’ di
masyarakat Jawa, seperti ada klasnya. Kondisi diri tampak bahagia, sejatinya
terimbangi oleh rasa khawatir.
Wujud rasa khawatir tergantung watak manusia yang
terbentuk oleh pengaruh lingkungan. Skala moderat juga ada. Hak milik setiap
anak manusia. Faktor ajar, panutan orangtua, gaya hidup keluarga menentukan
skala atau skenario khawatir.
Terkait erat dengan kondisi kejiwaan. Persentase kecil
karena ikhwal genetik. Sebagai modal mau kemana manusainya. Badan besar,
tampang garang tak identik dengan pemberani. Wajah tanpa kesan, ternyata malah
punya nyali di atas rata-rata nasional.
Rasa khawatir bisa disembunyikan, diminimalisasi. Arahkan
ke dimensi prospektif. Mitigasi efek domino khawatir yang melampaui porsi diri.
Menjadi potensi tersembunyi yang tetap setia mengingatkan. Diawali dengan suatu
niat. Kondisikan dan latih diri, dalam kondisi dan keadaan apapun, sigap
tanggap dengar suara panggilan-Nya.
Khawatir karena hati kita kurang sensitif akan
panggilan-Nya.
Rujukan besat, acuan mulia. Rasululah saw jelang wafat,
mengkhawatirkan akan umatnya.
Bumi makin renta dalam ketaatannya. Umat manusia walau ada yang datang memenuhi
bumi dan ada yang pergi meninggalkan dunia. Jumlah tetap membludak. Besaran rasa
khawatir akan kian beraneka ragam. Bahkan sebelum rasa khawatir datang,
khawatir yang ada di diri sejak dalam kandungan. Kian manusia peka, tanggap, responsif
akan seruan-Nya. Hikmah rasa khawatir nyata. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar