Halaman

Sabtu, 02 Maret 2019

rasa khawatir menjadi kontrol diri


rasa khawatir menjadi kontrol diri

Bisa-bisanya judul. Bukan kata bijak. Masih sebagai bahasa bumi. “Ketemu pirang perkoro”, jaré mbokdé mukiyo. Model ‘kuatir’ di masyarakat Jawa, seperti ada klasnya. Kondisi diri tampak bahagia, sejatinya terimbangi oleh rasa khawatir.

Wujud rasa khawatir tergantung watak manusia yang terbentuk oleh pengaruh lingkungan. Skala moderat juga ada. Hak milik setiap anak manusia. Faktor ajar, panutan orangtua, gaya hidup keluarga menentukan skala atau skenario khawatir.

Terkait erat dengan kondisi kejiwaan. Persentase kecil karena ikhwal genetik. Sebagai modal mau kemana manusainya. Badan besar, tampang garang tak identik dengan pemberani. Wajah tanpa kesan, ternyata malah punya nyali di atas rata-rata nasional.

Rasa khawatir bisa disembunyikan, diminimalisasi. Arahkan ke dimensi prospektif. Mitigasi efek domino khawatir yang melampaui porsi diri. Menjadi potensi tersembunyi yang tetap setia mengingatkan. Diawali dengan suatu niat. Kondisikan dan latih diri, dalam kondisi dan keadaan apapun, sigap tanggap dengar suara panggilan-Nya.

Khawatir karena hati kita kurang sensitif akan panggilan-Nya.

Rujukan besat, acuan mulia. Rasululah saw jelang wafat, mengkhawatirkan akan umatnya.

Bumi makin renta dalam ketaatannya. Umat manusia walau ada yang datang memenuhi bumi dan ada yang pergi meninggalkan dunia. Jumlah tetap membludak. Besaran rasa khawatir akan kian beraneka ragam. Bahkan sebelum rasa khawatir datang, khawatir yang ada di diri sejak dalam kandungan. Kian manusia peka, tanggap, responsif akan seruan-Nya. Hikmah rasa khawatir nyata. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar