antara dosa politik dan tarif tobat berbayar
Bahasa dan bahasan réligiusitas tentang t0bat, terkait
dengan urat malu manusia. Menurut para ahli, berlatar belakang pengalaman bertobat,
kian jauh merumuskan kian bias. Laku pribadi maupun dapat dipraktikkan secara
masal, berjamaah. Sholat berjamaah minta hujan, di lapangan.
Model tobat paling sederhana, tak perlu biaya dan tenaga,
adalah langsung tahu telah berlaku dosa. Kendati tidak ada kontak dengan orang
lain. Pikiran yang berkeliaran bebas, mampu menjangkau ikhwal yang bukan
haknya.
Bukan mana yang benr antara kata ‘taubat’ dengan lema ‘tobat’.
Ikuti selera lidah tak bertulang tapi lincah goyang.
Susahnya mengendalikan pengembaraan ‘pengamatan pribadi’
akan menyeret ysb melebihi status pelakunya. Suatau tindak selesai sesuai waktu
kejadian. Tak akan habis diulas tanpa tuntas. Bumbu debat kusir dan atau debat
kursi, menambah waktu luang menjadi terbuang.
Dalam ukuran detik, argo dosa politik berdetak dan
berdetik. Diam saja sudah dianggap melakukan kesalahan atau memberi peluang
terjadinya kesalahan. Akhirnya, manusia politik kian ahli mendaur ulang dosa
politik. Kamus moral politik menyuratkan laku politik karena demi bangsa.
Demokrasi digital mengalihfungsikan
demokrasi perwaklian menjadi wujud demokrasi tanpa perantara. Terjadi pembaiatan,
penobatan. Tepatnya menobatkan. Dicerna berlapis, menghasilkan makna ‘menobatkan’
sesuai daya batin pemirsa. Terjemahaan bebasnya adalah mendaulat, mendapuk, membaptis,
menahbiskan, menginisiasikan, mengukuhkan, menodong, mewisuda, melantik, menjanji(kan)
dan atau menyumpah, menakhtakan, memahkotakan, mengkursikan, mengangkat, menjadikan,
menjunjung, mengisbatkan.
Bukankah, jika me+tobat+kan menjadi
menobatkan. Melalui proses hukum buatan manusia. Sukses meliwati masa hukuman, bersih dari noda dan dosa. Hubungan sesama manusia bisa
dimulai dari nol. Mulai menapak, merintis lagi. Lembaran baru. Rekam jejak
anyar. Tapi siapa yang réla diri menyorongkan kepalanya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar