Indonesia, jaan mampasampik kandang ayam, mampalapang
kandang musang
Hubungan antar manusia sebagai makhluk sosial di tataran
berbangsa dan bernegara karena beda politik, beda pilihan, menyuburkan krisis
asas persatuan, kesatuan dan keutuhan. Rasa unggul sebagai anak bangsa
Nusantara, membuat diri lupa akan fakta bahwa bahu tidak pemah lebih tinggi ketimbang
kepala.
Mengacu pada watak manusia, tampaknya yang menonjol untuk
dijadikan bahan baku kata bijak, ternyata watak buruk lebih mendominasi watak
baik. Unsur yang terbanyak diacu ialah (I) manusia dengan situasi atau
lingkungan fisik dan lingkungan sosial di sekitarnya, (2) manusia dengan daya
akal, tindak tutur, perilakunya, (3) manusia dengan sifat atau wataknya.
Ingat petuah penuah tuah “linggis tumpul hanya kuat menolak
saja”. Gambaran zaman sekarang. Kiasan nyata pada keadaan seseorang yang sedemikian
patuh, taat, loyal kepada penguasa, melebih daya tampung dan daya dukung
kinerja otaknya. Tidak lagi dapat membedakan mana yang baik atau mana yang
buruk baginya sama saja. Jadi, ia hanya mengandalkan tenaga dayaucapa maupun
daya tulis, tanpa saringan mata batin, kata hati.
Koalisi partai politik pro-penguasa bak durian runtuh, berguguran,
berjatuhan berkompetisi menukik lurus ke bawah. Berupa sindiran halus atau
ironi bagi anak bangsa pribumi Nusantara yang gemar saling menjatuhkan antara sesama.
Sesekali pakai majas sarkasme ‘seperti lurusnya siput, lurus
berbelok-belok’. Tentunya, sikap arif, bijak, santun
kita bukan bak ‘tak ada gunanya memasang lantai kalau sudah terperosok’.
Sigapkan diri, mumpung . . . . [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar