Indonesia bersaing dengan masa lampau
Bukan ramalan politik hari ini. Bukan babakan drama
politik sesaat. Bukan petilan dagelan politik lokal. Bagian utuh degradasi
sistem politik Nusantara. Merasa berjasa atas jasa kakek nenek moyang yang
bukan pelaut. Merasa berhak warisan kuasa negara. Negara dikapling-kapling.
Mengikuti pariwara zaman serba kayu, “kalau sudah duduk lupa berdiri”. Lingkaran setan berulang rutin, tipikal. Beda urutan. Pengendali
negara masih di bawah kendali manusia ekonomi. Pengusaha seminasional sampai pebisnis
semiglobal. Investor politik mancanegara memang sudah ada riwayatnya.
Kian bebal manusia politik, ciri utama pada olok-olok
politik, kian bukti praktik hégemoni dari negara yang paling bersahabat. Hemat biaya
politik daripada berburu ilmu sampai negeri China.
Ajaran politik Nusantara disejajarkan dengan agama. Walhasil,
sosok oknum ketua umum kian bertaji karena sebagai penyandang hak prerogatif. Massa
organisasi kemasyarakatan yang terkenal fanatik, loyal, tulen, turun-temurun
terkadang tergantung kebijakan. Sosok ketokohan masih menjadi panutan.
Rekam jejak, pengalaman, jam terbang, mulai dari nol, proyek
rintisan atau hal sejenis, tidak berlaku di industri politik. Sistem feodal
atau garis keturunan menentukan nasib karier politik.
Kubu pertahanan keamanan pun, sedemikan merasakan nikmat
dunia. Sigap, siaga , siap, sedia, pasang badan 24 jam. Jangan sampai sampah
rumah tangga mengganggu wibawa negara.
Kendati kejahatan politik, intimidasi politik, penyakit
politik belum dibakukan. Akumulasinya menimbulkan bencana politik yang sambung
menyambung menjadi satu. Atau sesuai kearifan lokal. Politik adalah cara
konstitusional, legal, sah untuk menegakkan kejayaan masa silam. Masa depan gemilang
bangsa serahkan kepada mekanisme dan kekuatan pasar global. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar