Halaman

Rabu, 27 Maret 2019

Indonesia bersaing dengan masa lampau


Indonesia bersaing dengan masa lampau

Bukan ramalan politik hari ini. Bukan babakan drama politik sesaat. Bukan petilan dagelan politik lokal. Bagian utuh degradasi sistem politik Nusantara. Merasa berjasa atas jasa kakek nenek moyang yang bukan pelaut. Merasa berhak warisan kuasa negara. Negara dikapling-kapling.

Mengikuti pariwara zaman serba kayu, “kalau sudah duduk lupa berdiri”. Lingkaran setan berulang rutin, tipikal. Beda urutan. Pengendali negara masih di bawah kendali manusia ekonomi. Pengusaha seminasional sampai pebisnis semiglobal. Investor politik mancanegara memang sudah ada riwayatnya.

Kian bebal manusia politik, ciri utama pada olok-olok politik, kian bukti praktik hégemoni dari negara yang paling bersahabat. Hemat biaya politik daripada berburu ilmu sampai negeri China.

Ajaran politik Nusantara disejajarkan dengan agama. Walhasil, sosok oknum ketua umum kian bertaji karena sebagai penyandang hak prerogatif. Massa organisasi kemasyarakatan yang terkenal fanatik, loyal, tulen, turun-temurun terkadang tergantung kebijakan. Sosok ketokohan masih menjadi panutan.

Rekam jejak, pengalaman, jam terbang, mulai dari nol, proyek rintisan atau hal sejenis, tidak berlaku di industri politik. Sistem feodal atau garis keturunan menentukan nasib karier politik.

Kubu pertahanan keamanan pun, sedemikan merasakan nikmat dunia. Sigap, siaga , siap, sedia, pasang badan 24 jam. Jangan sampai sampah rumah tangga mengganggu wibawa negara.

Kendati kejahatan politik, intimidasi politik, penyakit politik belum dibakukan. Akumulasinya menimbulkan bencana politik yang sambung menyambung menjadi satu. Atau sesuai kearifan lokal. Politik adalah cara konstitusional, legal, sah untuk menegakkan kejayaan masa silam. Masa depan gemilang bangsa serahkan kepada mekanisme dan kekuatan pasar global. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar