peolok-olok politik loyalis penguasa, seperti anjing
kembali ke muntahnya
Tak bisa ditandingkan dengan amsal “babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya”. Demikianlah faktanya, orang bebal – maksud kata adalah
peolok-olok politik loyalis penguasa – yang mengulangi kebodohannya. Mereka
bukannya tak terpelajar. Bisa satu almamater, kampus, alumni dengan capres
petahana. Dari segi yuswa, tak kurang yang sudah bau tanah.
Adalah wayang Jawa. Anak Betara Guru yang menularkan dogma
rekaan manusia atau anak wayang. Condong ke dalil bahwa mereka tidak
mengharamkan anjing dan babi. Bebas disantap dengan aneka bumbu.
Mereka merasa bebas polusi dunia. Tidak berkecimpung
dengan kubangan noda maupun menu ampas produksi berkualitas impor. Tapi, acara
kebaktian menjadikan mereka terlibat lagi. Dosa kemarin sudah di-delete
dari catatan sipil. Buka lembaran baru. Walhasil, akhirnya keadaan mereka lebih
terpuruk, keblusuk ketimbang kondisi semula.
Otak-atik matuk pitutur luhur leluhur, ternyata mereka
akan lebih nyaman dan aman jika tidak mengetahui ada jalan pintas ketimbang
tahu saja. Akan tetapi, mereka kemudian balik kanan. Ingkar misi dunia yang
telah diindoktrinasikan. Cari selamat.
Kita simak sejenak “Pepatah-petitih dalam bahasa Dayak
Ngaju”, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta, 1997, yaitu anak pintar indu kahanjak bapae tapi anak humong akan kapehen indue. Maksudnya, anak yang bijak mendatangkan
sukacita kepada ayahnya, tetapi anak yang bebal adalah kedukaan bagi ibunya.
Sebagaimana pepatah mengatakan, orang bebal seringkali
salah, tetapi tidak pernah ragu. Mereka sepertinya yakin diri. Ada jaminan
masuk surga. Hobi berasumsi bahwa ia yang benar dan baik.
Orang bebal menjungkirbalikkan ajaran Tuhan namun orang
bijak justru mencari jalan ketuhanan. Orang bebal ahli membuat pernyataan –
semacam olok-olok politik dan aneka ujaran maupun tulisan di media – tanpa proses
hati. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar