Halaman

Minggu, 24 Maret 2019

Indonesia merasa aman melaju di belakang truk


Indonesia merasa aman melaju di belakang truk

Kejadian biasa-biasa saja. Bebas dari radar aparat keamananan. Tidak mempunyai catatan hukum. Namun dampaknya luar biasa. Jika dianalisis secara mulri aspek, hanya disimpulkan sudah kehendak sejarah.

Bahkan awal mulanya masuk catatan hukum, karena pelaku utamanya, bersih-bersih saja. Terjadi pendiaman maupun pembiaran. Banyak pihak terhanyut dan pilih bungkam. Minimal pura-pura tak tahu. Baru tahu jika awak media bertanya.

Bahkan di jalan bebas hambat, jalan tol, jalan berbayar. Tindak main siapa cepat, itulah yang dicari. Bahkan disediakan lajur untuk mendahului. Lajur paling kanan, biasanya laju 4, menjadi hak milik pihak yang bisa bermain cepat.

Bahu jalan menjadi multifungsi, multimanfaat. Siapa yang bangun jalan, siapa yang dapat rezeki di luar e-Toll. Dalih menuju lokasi tempat kerja, menjadi pengguna aktif jalan tol. Sesekali karena ada keperluan tertentu. Menjadi pengguna berkelakukan bak berkebutuhan khusus.

Pernah liwat, atau masuk kategori hafal tanpa peta. Tidak otomatis cerdas berkendara. Macet menjadi menu harian. Saat masuk tol, masih ada rasa cari aman. Ikuti kendaraan di depan. Konvoi, termasuk pilihan di jalan pintas. Hindari jalan umum yang bersaing dengan angkutan umum.

Pengemudi yang sedemikan sabarnya, sehingga jarang gunakan klakson maupun lampu dim. Mengalah sambil ber-HP ria. Belok pun tanpa sign, kebiasaan harian. Jika di rasa mobil di depan melaju. Pilih sikap tetap pada kecepatan kebiasaan. Pokoknya aman. Soal tenggang rasa ke sesama pengguna jalan. Sama-sama punya hak.

Ketika Nusantara terjun bebas ke pasar bebas. Maksudnya, di jalur internasional yang mana dimana tanda bendera negara, tak berpengaruh. Melaju sesuai ambang batas kecepatan, dianggap dari negara berkembang. Seolah tak mau repot main serobot. Saling salip. Tol menjadi sirkuit balap.

Tabiat harian sebagai anak bangsa negara yang sedang, masih, selalu, akan berkembang. Karena di negara menjadi jago kandang. Masuk pentas dunia, tampak aselinya. Masih membawakan langgam kebangsaan. Yang biasa serudak-seruduk, malah bermain cantik. Yang terbiasa modal tampang garang, tampak ciut nyali. Pilih lajur aman, nyaman. Lajut paling kiri. Begitulah kejadian ini dikisahkan. Tak perlu rinci. Pas azan maghrib waktu pengolah kata. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar