selama nasi belum turun ke perut
Kejadiannya sudah terjadi, hanya efek perkara belum
terasa, masih dalam proses metabolisme waduk. Layak diduga, ybs kemasukan benda
padat, lunak merayap. Tak perlu dikunyah pakai lama karena sudah lembut,
homogen. Perisa alami olah makanan ringan di lidah diterima dengan ikhlas. Satu
porsi langsung ludes tak terasa. Maunya berlanjut.
Kerongkongan menjadi jalan bebas hambatan tanpa sensor
apalagi karantina. Santapan hangat membuat daya pacu mulut tak perlu kerja
maksimal. Kunyah seadanya langsung telan. Aneka rasa tersaji dalam satu wadah.
Pandai-pandainya sendok main keruk, uber rasa yang tak ada kaitan dengan warna.
Tata cara makan dan atau minum, sudah ada aturan main, adab,
SOP, kode etik, rukun dan dalil global. Betapa saat kerongongan diliwati
makanan dimaksud, bak digelontor. Usai liwat pintu tol, melaju pelan bak
tumpukan berjalan. Gerak peristaltik jang diforsir, kendati yang liwat tamu
istimewa. Jarang liwat.
Kendati yang liwat cuma rombongan kecil, porsi priyayi
bukan porsi kuli. Namun karena melaju bersamaan. Butuh waktu menormalisasi
diri. Itu kalau lancar. Masih ada pasal begah menghadang. Waktu tunggu
mengandung risiko yang sulit ditebak. Kemungkinan anyar bisa terjadi.
Filosofi manusia berbudaya Jawa yaitu ngawula waduk.
Kejadian di atas, fakta manusiawi yang diangkat jadi ungkapan pada kehidupan
berbangsa dan bernegara. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar