Halaman

Selasa, 17 Maret 2020

kian berolah kata kian miskin bahasa


kian berolah kata kian miskin bahasa

Terjadi pada tataran mengoplos lebih dari dua disipllin ilmu, lebih dari dua ragam menulis. Mengado-gadokan struktur kalimat disiplin ilmu tertentu dengan memakai istilah disiplin ilmu lainnya. Menjadi kalimat kanibal dan enak disimak mata. Tak sengaja tapi sadar, membiakkan gaya bahasa khas menjadi hazanah budaya tutur maupun tulis. Masuk ranah karya sastra marginal, minimalis.

Disebut tersebut di akhir alinea pertama bukan tanpa kasus, alibi atau dalih pengenakan diri. Acap apa yang pernah tersurat, sepertinya tangan ini tak mau mengulang. Tapi memori mingguan beda sentuhan. Bisa dipakai dengan penyesuaian. Atau cari kata tertentu di laptop, muncul judul olah kata atau artikel milik pihak lain.

Tepatnya, memplagiat produk lama dengan vermak sana-sini agar tampil parlente, necis, norak. Karakter substansi bisa bertimbal balik dengan karakter kalimat. Pemilihan kata yang tepat menambah nilai jual. Betul. Bisa seperti mirip ungkapan sindiran halus tapi menghujam kalbu. Masalahnya, obyek dimaksud masuk kasta manusia bebal. Kebal, anti gores permukaan licin mampu membelokkan terpaan apapun.

Permainan kata untuk menjelaskan obyek yang sama. Mirip jurnalis meliput kejadian perkara di tempat. Sajian antar jurnalis terkadang tak ada benang merahnya. Ragam bahasa suka-suka atau kode etik pesanan. Pemirsa dituntut daya cerna plus cerdas diri. Agar aman, pakai liputan rekaman gambar. Silahkan pendelok alok-alok keplok.

Bahasa memang menunjukkan jati diri. Tak ada relasi dengan ilmu formal. Kehabisan kata, dahaga kata malah memacu pergulatan internal plus memicu peremajaan sel-sel otak. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar