kian berolah kata kian miskin bahasa
Terjadi pada tataran
mengoplos lebih dari dua disipllin ilmu, lebih dari dua ragam menulis. Mengado-gadokan
struktur kalimat disiplin ilmu tertentu dengan memakai istilah disiplin ilmu
lainnya. Menjadi kalimat kanibal dan enak disimak mata. Tak sengaja tapi sadar,
membiakkan gaya bahasa khas menjadi hazanah budaya tutur maupun tulis. Masuk ranah
karya sastra marginal, minimalis.
Disebut tersebut di
akhir alinea pertama bukan tanpa kasus, alibi atau dalih pengenakan diri. Acap apa
yang pernah tersurat, sepertinya tangan ini tak mau mengulang. Tapi memori
mingguan beda sentuhan. Bisa dipakai dengan penyesuaian. Atau cari kata
tertentu di laptop, muncul judul olah kata atau artikel milik pihak lain.
Tepatnya, memplagiat
produk lama dengan vermak sana-sini agar tampil parlente, necis, norak. Karakter
substansi bisa bertimbal balik dengan karakter kalimat. Pemilihan kata yang
tepat menambah nilai jual. Betul. Bisa seperti mirip ungkapan sindiran halus
tapi menghujam kalbu. Masalahnya, obyek dimaksud masuk kasta manusia bebal. Kebal,
anti gores permukaan licin mampu membelokkan terpaan apapun.
Permainan kata untuk
menjelaskan obyek yang sama. Mirip jurnalis meliput kejadian perkara di tempat.
Sajian antar jurnalis terkadang tak ada benang merahnya. Ragam bahasa suka-suka
atau kode etik pesanan. Pemirsa dituntut daya cerna plus cerdas diri. Agar aman,
pakai liputan rekaman gambar. Silahkan pendelok alok-alok
keplok.
Bahasa memang
menunjukkan jati diri. Tak ada relasi dengan ilmu formal. Kehabisan kata,
dahaga kata malah memacu pergulatan internal plus memicu peremajaan sel-sel
otak. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar