Berdamai Dengan Tantangan dan Tuntutan Masa
Depan
Jangankan Masa Depan
Pertama. Jangankan masa depan. Esok hari belum terjadi,
masuk perkara gaib. Urusan dan wewenang plus hak prerogatif Allah swt. Umat
manusia hanya wajib menyiapkan bekal dan modal untuk hari sesudah hari ini.
Esok hari bukan hak milik manusia. Memanfaatkan waktu singgah di bumi. Amal
demi amal dikumpulkan sebagai syarat lanjut ke perjalanan menuju kehidupan
abadi pasca kematian.
“Ya Allah, cukupkanlah kebutuhanku hari ini saja”, doa orang sufi. Mereka dengan
tekun menunggu waktu sholat fardhu berikutnya. Waktu terasa berdetak lambat. Nikmat
waktu saat bisa berjumpa dengan-Nya. Berdua-duaan dengan-Nya.
Kedua. Batasan orang mampu adalah kecukupan pangan
keluarga hari ini. Kerja harian masyarakat ekonomi sulit, demi sesuap nasi.
Dilakoni dengan ridho dan tulus ikhlas. Mimpinya tak kemana-mana. Lebih
menampilkan episode yang sudah dijalani. Tanpa firasat besok mau makan apa.
Fenomena susah tidur malam vs sulit bangun malam Agar
tepat guna, semua tahapan dalam siklus manajemen waktu memerlukan persiapan
yang baik dan terencana. Sigap diri untuk keadaan darurat penyakit kehidupan
malam, menjadi kunci dalam menghadapi
keadaan darurat. Sigap darurat diri yang tepat manfaat adalah proses yang berkelanjutan,
terus-menerus serta bertimbal balik.
Merubah masa kini sebagai syarat dasar untuk memantapkan
langkah menapak “mencari jarak terdekat” ke masa depan. Secara sadar, malah kita
kian merasa dekat dengan masa lalu. Adagium sederhana, hidup membuat bukti masa
depan vs hukum mencari bukti masa lalu.
Arus searah kehidupan membuat orang bimbang dan ragu.
Dilengkapi rasa was-was dan waspada berlebih terhadap masa depan nasib diri. Dorongan
masa lalu bak kehabisan baterai. Rasanya masih bergerak dalam diam. Efek visual
gerak bayangan kendaraan dari arah berlawanan. Tak sadar sudah melawan arus
zaman.
Posisi geografis NKRI yang tidak dengan 4 (empat) musim.
Anomali cuaca akibat campur tangan manusia terhadap sistem bumi. Perjalanan
waktu yang menentukan sistem penanggalan, qomariah maupun syamsiah.
Kita
simak ulang firman-Nya, tercantum di (QS Al Mu'minuun [23] : 80) :
”Dan Dialah
yang menghidupkan dan mematikan, dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam
dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya?.”
Ketiga. Hanya Allah swt dan Rasulullah saw sebagai
jaminan. Melaksanakan kewajiban sebagai hamba-Nya dengan optimal. Bahkan
dirinya pun siap diwakafkan, didonorkan di jalan-Nya. Berjuang di jalan-Nya
sesuai ilmu dan kadar diri yang bisa-bisa nyaris senyap. Motivasi kebatinan tak
kalah dengan orang saleh.
Merasa jiwa dalam genggaman-Nya. Tak bisa digadaikan
kepada pihak manapun Tak bisa diasuransikan dengan metoda dan kalkulasi finansial
cara apapun.
Efek samping mengandalkan motivasi, minat, atensi,
hasrat, niat atau cita-cita berjangka panjang sudah terformat dalam struktur
kompetitif. Orientasi diri kepada menjadi manusia unggul, laik tanding disegala
medan laga kehidupan.
Pembangunan manusia nusantara aneka versi masih terjebak
problema belum optimalnya pengembangan potensi unggulan berbasis sumber daya
pribadi. Pemenuhan hak pribadi, individu sebagai anggota masyarakat belum
sesuai mandat regulasi yang berlaku.
Gagal Menjadi Manusia Seutuhnya
Program nasional pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
sejak presiden kedua RI. Kemasan lokal mewujudkan manusia unggul versi
reformasi oleh presiden ketujuh RI. Kian menyisakan onggokan, tumpukan PR.
Formulasi manusia unggul dipoles dengan ramuan ajaib
revolusi mental. Terbukti secara politis. Kekayaan segelintir orang kaya lama
nusantara yang terwariskan ke anak mantu cucu plus pengembangan usaha keluarga,
setara dengan akumulasi kekayaan ratusan juta penduduk miskin.
Lain pasal kejadian dengan kiprah, kinerja, kontribusi
manusia politik mampu menentukan nasib bangsa lima tahunan. Sesuai asas pesta
demokrasi daripada Soeharto. Semangkin cespleng membenarkan, membiarkan praktik
daripada demokrasi nusantara sesuai selera yang punya negara. Daya kritis
rakyat cukup jadi bahan mimpi malam atau bahan rembukan dalam hati.
Stabiltas
jiwa-raga, ketahanan fisik-mental
manusia yang sigap bela negara. Ternyata rawan-rentan-riskan atas perkara anomali
iklim, bencana alam, polusi, konflik sosial, abrasi pantai, longsoran bukit,
penggundulan hutan, kahutla. Ditambah daya saing rendah terhadap kesenjangan
ekonomi-politik-sosial-hukum dan tradisi kemiskinan di perdesaan dan pola hidup
miskin tapi sombong di perkotaan.
Mungkin tak selaras dengan daya juang unsur kemanusiaan
di dalam dirinya. Manusia bisa berubah setiap saat. Bukan karena labil jiwa
atau selalu mencari jawaban ‘siapa aku’.
Kompetisi, persaingan hidup antar manusia menjadikan
nila-nilai kemanusiaan tergerus, terkikis, tersublimasi secara alami manusiawi.
Kuadran tertentu, malah tergadaikan secara sadar, sengaja, berencana.
Harap Naik - Kian Parah
Mengacu, merujuk. menyimak wahyu Allah SWT kepada
Rasulullah SAW, termaktub di (QS Fushshilat [41] : ayat 49):
“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka
ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.”
Al-qur’an lebih banyak menggunakan kata, lema ‘asa’ dibanding kata, lema ‘harap’. Kehidupan manusia tak luput
dari rasa harap-harap cemas. Rasa cemas seolah hanya muncul saat mengelola
urusan dunia. Tidak dengan saat bergulat dengan urusan akhirat.
Begitu juga dan memang begitulah muncul keadaan berbasis
harap. Kehatian-hatian menggunakan kata dasar ‘harap’ karena jika terjadi
sebaliknya, dieja, dibaca dari kanan menjadi ‘parah’. Bahasa saja sudah
menjelaskan. Ada baiknya kta coba menyibaknya. Dengan catatan hanya kepada-Nya
kita berharap.
Pertama. Jangan berharap. Berharap sah-sah saja. Ibarat
proses. Jangan berlebih atau mengharapkan. Mengharapkan sebagai kalimat aktif,
justru pelakunya bersifat pasif. Khususnya pada hubungan antar umat manusia.
Interaksi sosial, ikatan emosi, ikatan moral, hubungan keluarga dan
kekerabatan, kontrak politik tetap bukan jaminan untuk mengharapkan kebaikan
dari orang lain.
Kedua. Jangan memberi harapan. Terlebih melalui janji.
Kendati untuk menambah semangat ke anak. Atau untuk meyakinkan calon pasangan
hidup. Lebih mulia kalau menghidupkan harapan. Selalu menyertakan Allah swt
dalam setiap tahapan proses. Pemberi harapan yang harapan tinggal harapan.
Mendahulukan kepentingan umum, memberi peluang agar orang lain lebih.
Ketiga. Jangan memutuskan harapan orang lain. Sebagai
makhluk sosial yang saling membutuhkan. Eksistensi kita sebagaimana pun
kecilnya, akan menentukan keseimbangan. Acap telinga kita menangkap radar suara
senyap minta tolong, butuh bantuan. Frekuensi tertentu menjadi permohonan.
Melatih peka diri dan sigap menjadi bagian dari orang lain. Penuhi hak orang
lain dan hak kita tak akan berkurang.
Demikian harap saya agar pemirsa tetap konsisten dengan
harap diri. dan
manajemen waktu. Kita simak ulang firman-Nya, tercantum di (QS Al Mu'minuun
[23] : 114) :
”Allah
berfirman: "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau
kamu sesungguhnya mengetahui".”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar