kursi bergeser ke pantat tetangga
sebelah
Bukan masalah antrian atau ada arisan tingkat RT. Agar berkadar
non-lokal, judul bahasa majas. Ungkapan filosofis oplosan aneka kejadian
kehidupan bernegara. Jadi bukan kejadian tingkat RT. Masih bisa terjadi di RT
kawasan elite penyelenggara negara, militer maupun swasta multinasional. Ramuan
angker atau sangar menambah tuah olah kata.
Masih ingat cuplikan narasi bersubsidi, simak bebasan “nglungguhi klasa gumelar”, gambaran
sederhana orang yang menempati, menduduki, menempatkan pantat pada tikar atau
tempat yang telah tergelar, tersedia tanpa kesulitan berarti. Kalau ada
masalah, hanya masalah antrian internal dan nasib. Tinggal duduk manis bak
dapat kursi nganggur. Kursi tiban. Tak perlu repot menunggu sambil duduk manis,
memeluk lutut, berpangku sebelah tangan
pasang dan umbar senyum manis. Tak pakai keringat dhéwé.
Budaya politik nusantara bersifat terbuka, ramah investor
sesuai asas pasar bebas dunia. Siklus, daur ulang kehidupan berpolitik bak
warisan, arisan kursi kekuasaan secara konstitusional. Tebal muka plus manusia
bebal menjadi
syarat utama penghambaan politik.
Demikian judulnya “asu mbalèni piringé vs panguwasa mbélani kursiné”. Diadop
dari kisah nyata yang sedang berjalan, bahwasanya barangsiapa mau main politik.
Jangan setengah-setengah. Yang jelas-jelas. Apa maunya vs maunya apa. Jangan
malu, bimbang, ragu, sungkan, tepo sliro ataupun bertenggang rasa. Tak ada
pasal toleransi. Plus harus aksi pandai-pandai. Wajib super mégatéga, anéka
mégatéga. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar