kompromi politik menjadi agenda
pribadi
Ada yang tidak menarik di balik laga pilkada serentak
2020. Bisa dibuat menarik, diangkat dari kisah kejadian yang sedang terjadi,
aseli, nyata, tanpa tendensi berkepribadian. Di lingkungan tempat tinggal
pengolah kata. Ybs masuk daftar kontestan bakal calon wali kota. Cari pasangan
yang nilai jual lebih unggul.
Masalah dadakan, saat pilpres 2019, lokasi kota – bahkan provinsi
– bukan kantong suara ormas agama tertentu
dari pasangan 01. Masalah terkini, anak cawapres terpilih maju jadi balon
walikota. Kendati bukan kader partai, ybs adem ayem.
Pihak lain, parpol pencetus, pengorbit dinasti politik
lokal, malah sigap menghadap dinasti dimaksud berkelanjutan. Sudah dua periode.
Ironisnya, parpol ini malah tidak punya kader yang laik tanding. Jumlah kursi
di DPRD berhak ajukan calon tanpa koalisi.
Penyakit bawaan menjadikan kota tsb bagian dari 3 kota
rawan pemilu. Perlu diwaspadai. Modus politik menjadi acuan bagi dinasti
politik, khususnya pasca reformasi 1998. Tentu ada efek domino, efek karambol,
dampak berantai. Peka baca cinyal politik dinasti politik, elite lokal, orang
kuat lokal, pengusaha daerah maupun sistem kemasyarakatan menjadi faktor
penentu.
Kembali ke esensi narasi. Ybs dengan niat diri sebagai
jamaah masjid dilengkapi nilai jual karena
merasa merangkap ketua partai politik
daerah. Rekam jejak sebelumnya dua kali berturut-turut jadi wakil rakyat daerah
kota.
Kisah ini belum selesai dan tak akan selesai pada
waktunya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar