Halaman

Senin, 23 Maret 2020

kompromi politik menjadi agenda pribadi


kompromi politik menjadi agenda pribadi

Ada yang tidak menarik di balik laga pilkada serentak 2020. Bisa dibuat menarik, diangkat dari kisah kejadian yang sedang terjadi, aseli, nyata, tanpa tendensi berkepribadian. Di lingkungan tempat tinggal pengolah kata. Ybs masuk daftar kontestan bakal calon wali kota. Cari pasangan yang nilai jual lebih unggul.

Masalah dadakan, saat pilpres 2019, lokasi kota – bahkan provinsi –  bukan kantong suara ormas agama tertentu dari pasangan 01. Masalah terkini, anak cawapres terpilih maju jadi balon walikota. Kendati bukan kader partai, ybs adem ayem.

Pihak lain, parpol pencetus, pengorbit dinasti politik lokal, malah sigap menghadap dinasti dimaksud berkelanjutan. Sudah dua periode. Ironisnya, parpol ini malah tidak punya kader yang laik tanding. Jumlah kursi di DPRD berhak ajukan calon tanpa koalisi.

Penyakit bawaan menjadikan kota tsb bagian dari 3 kota rawan pemilu. Perlu diwaspadai. Modus politik menjadi acuan bagi dinasti politik, khususnya pasca reformasi 1998. Tentu ada efek domino, efek karambol, dampak berantai. Peka baca cinyal politik dinasti politik, elite lokal, orang kuat lokal, pengusaha daerah maupun sistem kemasyarakatan menjadi faktor penentu.

Kembali ke esensi narasi. Ybs dengan niat diri sebagai jamaah masjid dilengkapi nilai jual karena  merasa  merangkap ketua partai politik daerah. Rekam jejak sebelumnya dua kali berturut-turut jadi wakil rakyat daerah kota.

Kisah ini belum selesai dan tak akan selesai pada waktunya. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar