kewajiban selaku manusia
tak berbayar
Fitrah manusia sebagai makhluk
sosial, komunitas masyarakat adalah serba saling. Populasi penduduk nusantara
di sub-subkan masih terdapat ikatan paling sederhana. Laju peradaban berbangsa,
bernegara mampu membuat satu keluarga, satu rumah tinggal muncul bibit
perseteruan, persaingan bebas.
Watak manusia kian dinamis. Pola lama,
bahwa dibalik senyum belum tentu hatinya tersenyum. Bahasa diplomatis menjadi
kuno, bikin ribet. Pakai bahasa gaul, blak-blakan ngablak sesuai lebar cangkem.
Tak lupa senyum pratanda status jiwa.
Tak perlu survei berbayar. Acap muncul
dadakan aneka pasal praktik manipulatif, spekulatif, rekayasa oknum tertentu
untuk mempercepat proses adab politik nusantara.
Padahal, prinsip izin vs izin prinsip, menjadi faktor
penentu. Manusia menentukan pilihan hidup untuk praktik hidup bermasyarakat. Sama-sama
menghuni lingkungan hidup dan sumber
daya alam yang terbatas. Batasan normatif mengendalikan kebebasan individual agar
tidak menjadi biang potensi konflik.
Mengacu konteks kegiatan akselerasi
hidup berbangsa dan bernegara pada arus cepat global. Modus memangkas sejumlah birokrasi
perizinan yang layak diduga potensial mempersulit laju investasi dan bisnis
politik global. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar