Halaman

Sabtu, 14 Maret 2020

dilema sistem pemerintahan mental oplosan, kebijakan pemerintah vs kebijakan partai


dilema sistem pemerintahan mental oplosan, kebijakan pemerintah vs kebijakan partai

Pesta demokrasi menggambarkan praktik demokrasi. Pemenang pemilu legislatif, yang disebut koalisi partai politik pro-pemerinrtah, pro-penguasa merasa berhak mengambil semua kursi dan jabatan publik. Nasib bangsa selama lima tahun ditentukan kebijakan pemerintah terjemahan dari kebijakan partai.

Kembali ke jalur lurus, lajur khusus. Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, dengan hasil antara lain berupa:
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Sebutan “atas usul” seolah dewan yang terhormat, 24 jam memantau setiap pikiran, tindakan, ucapan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Siap main semprit, jika terjadi pelanggaran atau layak diduga, patut disangka melakukan pergerakan membahayakan lawan politik.

Padahal, Presiden dan/atau Wakil Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat adalah sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Apa karena ada sebutan ‘wakil rakyat’ otomatis kawanan DPR merasa punya hak atas nama rakyat, sebagai hak yang melekat. Partai politik bukan sekedar kendaraan politik serba guna.

Secara awam, atau karena dimungkinkan rakyat mana yang mereka wakili. Sesuai daerah pilihan atau pemilih yang mengkayakan dirinya setelah terpilih. Pasnya, jika pasal sejahtera dunia telah tercapai oleh oknum maupun parpol pengutusnya.

Kedudukan hukum presiden sebatas petugas partai secara konstitusional.  Menjadi obyek kebijakan partai pengususung maupun koalisi partai pro-penguasa. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar