dilema sistem pemerintahan mental oplosan,
kebijakan pemerintah vs kebijakan partai
Pesta
demokrasi menggambarkan praktik demokrasi. Pemenang pemilu legislatif, yang
disebut koalisi partai politik pro-pemerinrtah, pro-penguasa merasa berhak
mengambil semua kursi dan jabatan publik. Nasib bangsa selama lima tahun
ditentukan kebijakan pemerintah terjemahan dari kebijakan partai.
Kembali ke jalur lurus,
lajur khusus. Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, dengan hasil antara lain berupa:
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas
usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sebutan
“atas usul” seolah dewan yang terhormat, 24 jam memantau setiap pikiran,
tindakan, ucapan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Siap main semprit, jika
terjadi pelanggaran atau layak diduga, patut disangka melakukan pergerakan
membahayakan lawan politik.
Padahal,
Presiden dan/atau Wakil Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat adalah
sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Apa karena ada sebutan ‘wakil rakyat’
otomatis kawanan DPR merasa punya hak atas nama rakyat, sebagai hak yang
melekat. Partai politik bukan sekedar kendaraan politik serba guna.
Secara
awam, atau karena dimungkinkan rakyat mana yang mereka wakili. Sesuai daerah
pilihan atau pemilih yang mengkayakan dirinya setelah terpilih. Pasnya, jika
pasal sejahtera dunia telah tercapai oleh oknum maupun parpol pengutusnya.
Kedudukan
hukum presiden sebatas petugas partai secara konstitusional. Menjadi obyek kebijakan partai pengususung
maupun koalisi partai pro-penguasa. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar