Halaman

Minggu, 29 Desember 2019

wewenang diskresi pengendusan vs gebuk duluan rembuk belakangan


wewenang diskresi pengendusan vs gebuk duluan rembuk belakangan

Jelas bukan permainan anak-anak. Permainan orang dewasa juga bukan. Apalagi dolanan rakyat. Lalu lantas permainan siapa gerangan. Kisah pewayangan nusantara atau heroisme di belantara rimba tak bertuan. Ilustrasi kehidupan nyata pada saat berkebangsaan, malah menunjukkan modus politik berkebutuhan khusus.

Adalah diskresi hadir bukan sebagai alat untuk mencederai asas legalitas. Penerapan diskresi sebagai alat pelengkap produk hukum pada kondisi  tidak dapat menjangkau dan mengatur setiap aspek kehidupan masyarakat. Kewenangan yang melekat pada jabatan tidak bisa diartikan bisa bertindak sewenang-wenang. Atau atas nama kewenangan, melakukan tindak proaktif, jemput bola.

Simak  pengertian Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan:
“Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.”

Lebih lanjut, simak:

Pasal 24
Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:
a.             sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
b.            tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.             sesuai dengan AUPB;
d.            berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e.            tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
f.              dilakukan dengan iktikad baik.

Jauh tahun sebelumnya, jelas akurat, otentik, originalnya pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Simak:
Pasal 18
(1)          Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2)          Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Penjelasan Pasal 18 ayat (1):
Yang dimaksud dengan "bertindak menurut penilaiannya sendiri" adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota bayangkara yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.

Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri.

Jadi wewenang diskresi melekat pada sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Wajar jika ada dalil tak resmi, bahwasanya yang menentukan karier, nasib sebagai oknum atau kawanan Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia bukan rakyat. Karena pejabat bayangkara  dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus memiliki kemampuan profesi.  

Yang mana, dimana saat melaksanakan tugas dan wewenangnya, pada kondisi berhadapan langsung dengan rakyat. Karena tata cara menghadapai rakyat tidak diatur dalam UU. Maksud kata, lema, kata ‘rakyat’ tidak disebut dalam UU dimaksud. Kecuali frasa Majelis Permusyawaratan Rakyat dan atau Dewan Perwakilan Rakyat. UU dimaksud lebih pas dengan menggunakan lema, kata ‘masyarakat’. Tidak ada lema, kata ‘rakyat’ pada kamus polisi.

Format politik membingkai kehidupan bernegara. Maka daripada itu demi menjaga wibawa negara di mata dunia. Pakai pasal yang tidak resmi. Tersirat, daripada kedahuluan, kecolongan, lebih baik. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar