wewenang diskresi
pengendusan vs gebuk duluan rembuk belakangan
Jelas bukan permainan anak-anak. Permainan orang dewasa
juga bukan. Apalagi dolanan rakyat. Lalu lantas permainan siapa gerangan. Kisah pewayangan
nusantara atau heroisme di belantara rimba tak bertuan. Ilustrasi kehidupan
nyata pada saat berkebangsaan, malah menunjukkan modus politik berkebutuhan
khusus.
Adalah diskresi hadir bukan sebagai alat untuk mencederai
asas legalitas. Penerapan diskresi sebagai alat pelengkap produk hukum pada
kondisi tidak dapat menjangkau dan
mengatur setiap aspek kehidupan masyarakat. Kewenangan yang melekat pada
jabatan tidak bisa diartikan bisa bertindak sewenang-wenang. Atau atas nama
kewenangan, melakukan tindak proaktif, jemput bola.
Simak pengertian
Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan:
“Diskresi adalah Keputusan dan/atau
Tindakan yang yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan
untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan,
tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi
pemerintahan.”
Lebih lanjut, simak:
Pasal 24
Pejabat Pemerintahan yang
menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:
a.
sesuai dengan
tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
b.
tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.
sesuai dengan
AUPB;
d.
berdasarkan
alasan-alasan yang objektif;
e.
tidak menimbulkan
Konflik Kepentingan; dan
f.
dilakukan dengan
iktikad baik.
Jauh tahun sebelumnya, jelas akurat, otentik, originalnya
pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Simak:
Pasal 18
(1)
Untuk kepentingan
umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2)
Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam
keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan,
serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Penjelasan Pasal 18 ayat (1):
Yang dimaksud dengan "bertindak menurut
penilaiannya sendiri" adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan
oleh anggota bayangkara yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat
serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.
Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui
pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk
bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri.
Jadi wewenang diskresi melekat pada sebagai alat negara
yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Wajar jika ada dalil tak resmi, bahwasanya yang
menentukan karier, nasib sebagai oknum atau kawanan Pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia bukan rakyat. Karena pejabat bayangkara dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
harus memiliki kemampuan profesi.
Yang mana, dimana saat melaksanakan tugas dan wewenangnya,
pada kondisi berhadapan langsung dengan rakyat. Karena tata cara menghadapai
rakyat tidak diatur dalam UU. Maksud kata, lema, kata ‘rakyat’ tidak disebut
dalam UU dimaksud. Kecuali frasa Majelis Permusyawaratan Rakyat dan atau Dewan
Perwakilan Rakyat. UU dimaksud lebih pas dengan menggunakan lema, kata
‘masyarakat’. Tidak ada lema, kata ‘rakyat’ pada kamus polisi.
Format politik membingkai kehidupan bernegara. Maka daripada
itu demi menjaga wibawa negara di mata dunia. Pakai pasal yang tidak resmi. Tersirat,
daripada kedahuluan, kecolongan, lebih baik. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar