politik Dajjal
nusantara, benci tapi banci
Pelaku, pegiat, pelakon, petugas,
pekerja partai tidak menjadi hak manusia politik alias kader. Siapa saja bisa
tampak sibuk. Pakai istilah politik transaksional. Wajar jika resmi ada
anggaran demokrasi sampai biaya politik maupun kurs tengah kursi. Tarif jalur
cepat, jalur pendek, jalur pintas tentu beda dengan pola karier. Tak perlu
merintis dari nol. Tak pakai cara menapak dari bawah.
Carut-marut keperpolitikkan
nusantara kian semrawut. Manusia ekonomi langsung tindak turun kaki tangan. Alat
negara yang bak biro jasa aman dan tahan, dipastikan duduk manis di kursi
barisan pembantu presiden. Barometer kedewasaan politik, lihat betapa interaksi
aksi trias politika.
Manusia hukum berbasis negara
Indonesia adalah negara hukum. Siapa pun
yang behadapan dengan hukum, nasibnya ditentukan oleh aparat penegak hukum dan
keadilan. Pihak mana pun yang bermasalah hukum, jelas pada pasal masalah hukum.
Hukuman yang akan diterima sesuai rasa adil, efek dari jual beli perkara.
Pemangsa segala berlaku umum pada
sepak terjang, saling libas, tebas di tempat, gebuk duluan rembuk belakangan .
. . ternyata sudah ketinggalan omzet. Tenaga dalam juga tidak mempan, malah
balik bak senjata makan tuan.
Daripada tersungkur lebih baik main
sangkur. Itulah jadi-jadiannya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar