kuat hati karena tahu
lemah diri
Di hadapan-Nya, apalah arti diri ini, apalah awak ini.
Tak ada apa-apanya. Apa pula yang bisa dibanggakan, yang bisa disombongkan.
Semua berasal dari-Nya.
Mudahnya, kita adop ujaran anak cucu ideologis penggali ‘nasakom’:
“yang tak pancasilais, oncat dari nusantara”. Dibalikkan ke ybs, “yang tak
percaya hari akhir . . . , pindah dari muka bumi”. Cari lokasi lain selain bumi
ini.
Kembali ke niat awal. Antara bercermin, berkaca dengan
mawas diri, evaluasi diri sejak dini secara mandiri, muhasabah, tentu ada
persamaan sekaligus perbedaan. Riwayat di akhirat, dikisahkan secara gamblang
di Al-Qur’an. Pihak yang menyombongkan diri di dunia, karena banyak penggemar. Efek
dari status kuasa, kuat, kaya yang disandangnya.
Saat bercermin, untuk mematut diri. Sigap mengendus
bagian mana yang perlu divermak. Pihak mana yang perlu digeser atau ditambal
sulam. Manipulasi anggota kelengkapan wajah. Pipi dimodifikasi agar tahan
benturan. Irung lebih ditonjolkan atau didongakkan, agar mudah bernafas. Gampang
sedot udara lokal. Dan seterusnya bersifat pribadi, individual.
Tarik mundur dari kejadian tembus waktu. Sadar diri. Bukan
karena merasa menjadi orang baik, benar, betul, bagus. Tanpa goresan, tanpa
noda, bebas dosa. Kehati-hatian – tawakal – agar terhindar dari jebakan dosa
kecil. Setiap kaki melangkah, diiringi argo catatan dosa atau argo amal oleh
malaikat.
Sadar diri, frasa kuncinya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar