Dinasti Politik Masuk Stadium
Pemerintah Bayangan
Praktik
dinastik politik, di tingkat kabupaten/kota, maupun provinsi; terjadi di Jawa
atau bahkan di luar Jawa sudah sedemikannya. Masih, sedang dan akan berjalan
secara masif, padat modal dan berkelanjutan. Kajian akademis tak kehabisan
tema, judul untuk membedahnya.
Pertimbangan
anak cucu biologis, yuridis, ideologis menjadikan paham ‘nasakom’ produk
unggulan BK, tak ada jerak kapoknya. Tak ada matinya. Penguasa tunggal Orde
Baru membuktikan bahwa kalau mau berkuasa wajib punya kendaraan politik. Tidak perlu
mendirikan atau menjadi kader bangkotan sebuah partai politik (parpol).
Pasca
reformasi 21 Mei 1998 yang bergulir mulai dari puncaknya. Kran demokrasi
terbuka luas. Aneka jenis parpol muncul
bak cendawan di musim hujan. Namun, tata kelola parpol, mirip usaha atau industri
keluarga. Rekrutmen, pengkaderan didominasi oleh elite partai, keluarga, trah
pendiri, dinasti atau model AMPI (anak, menantu, paman, dan istri).
Praktik
demokrasi di NKRI bersifat dinamis, luwes, kondisional. Perimbangan anggaran
demokrasi, biaya dan ongkos politik, sampai nilai jual kursi membuat manusia
politik kian berwatak ganda. Paham bahwa kekuasaan bisa diwariskan, untuk
menjaga gugatan. Demokrasi adalah rekayasa merebut, mempertahankan, merebut
kembali kekuasaan secara konstitusional, legal, halal.
Terlebih
kawanan politisi sipil bisa tergusur oleh kiprah manusia ekonomi (pengusaha,
pemodal) – sebagai contoh, 37,45% anggota DPR periode 2014-2019 berasal dari
pengusaha – dan atau tergeser oleh aksi alat negara berbasisi balas jasa atau
politik transaksional. Bukan karena sistem feodal masih melekat. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar