Halaman

Jumat, 06 Desember 2019

suasana kebatinan rakyat vs daya batil penguasa


suasana kebatinan rakyat vs daya batil penguasa

Tak bisa disamakan dengan peribahasa atau ungkapan “garam di laut berkongsi dengan asam di gunung”.  Yang terjadi, yang realistis adalah yang mana dimana bawang putih impor bersinergi dengan cabai asing.  Beda dengan fakta di masyarakat, tersebutlah “si gèdhèg lan si anthuk”. Maksud kata terselubung adalah, wong loro kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan.

Hubungan diplomatik, hubungan timbal balik rakyat dengan penguasa. Dibilang bak “air dengan ikan”, jauh fakta. Hubungan interaksi manusia dengan air, terdeteksi oleh mata, kasat mata. Pemaknaan air secara tidak langsung seperti hujan, sungai dan laut. Siklus air menyuratkan menyiratkan hubungan air dengan buih dan sebangsanya.

Disebutkan oleh ahlinya, bahwa perumpamaan keterkaitan antara  kebenaran dengan kebatilan. Simak air mengalir sangat deras, dipertemuan arus akan muncul buih, gelemubng aur, busa. Aliran air yang deras adalah kebenaran sedangkan buih yang berikutan, efek samping diibaratkan kebatilan.

Sistem politik nusantara, sebaliknya. Buih mengucur deras secara formal berbangsa dan bernegara. Mampu mnentukan nasib laju air seberapapun volume, kapasitas. Hidup bermasyarakat akan diwarnai bentuk kebatilan selalau datang lebih awal. Muncul belum waktunya dan nanti menjadi legal.

Praktik demokrasi nusantara, secara sadar rakyat memelihara perilaku batil. Menempatkan manusia batil – apa bedanya dengan manusia bebal – di posisi penyelenggara negara lima tahunan. Selalu berulang antar periode. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar