suasana kebatinan rakyat
vs daya batil penguasa
Tak bisa disamakan dengan peribahasa
atau ungkapan “garam di laut berkongsi dengan asam di gunung”. Yang terjadi, yang realistis adalah yang mana
dimana bawang putih impor bersinergi dengan cabai asing. Beda dengan fakta di masyarakat, tersebutlah “si
gèdhèg lan si anthuk”. Maksud kata terselubung adalah, wong loro kang wis padha
kangsèn tumindak ala bebarengan.
Hubungan diplomatik, hubungan timbal
balik rakyat dengan penguasa. Dibilang bak “air dengan ikan”, jauh fakta. Hubungan
interaksi manusia dengan air, terdeteksi oleh mata, kasat mata. Pemaknaan air
secara tidak langsung seperti hujan, sungai dan laut. Siklus air menyuratkan
menyiratkan hubungan air dengan buih dan sebangsanya.
Disebutkan oleh ahlinya, bahwa perumpamaan
keterkaitan antara kebenaran dengan kebatilan.
Simak air mengalir sangat deras, dipertemuan arus akan muncul buih, gelemubng
aur, busa. Aliran air yang deras adalah kebenaran sedangkan buih yang
berikutan, efek samping diibaratkan kebatilan.
Sistem politik nusantara,
sebaliknya. Buih mengucur deras secara formal berbangsa dan bernegara. Mampu mnentukan
nasib laju air seberapapun volume, kapasitas. Hidup bermasyarakat akan diwarnai
bentuk kebatilan selalau datang lebih awal. Muncul belum waktunya dan nanti
menjadi legal.
Praktik demokrasi nusantara, secara
sadar rakyat memelihara perilaku batil. Menempatkan manusia batil – apa bedanya
dengan manusia bebal – di posisi penyelenggara negara lima tahunan. Selalu berulang
antar periode. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar