#sigapMINUS24jam seperti
biasanya, padahal
Basa basi dalam tata gaul bermasyarakat, lebih banyak
basinya. Berbasis belajar bahasa Inggris. Jika sua seseoarng, kalimat standar
yang layak ucap. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Demokrasi berbahasa
menjadi ciri anak bangsa pribumi nusantara. Tampak di adegan curah dan dengar
pendapat.
Maksudnya. Banyak pihak hafal dengan kalimat sapaan. Faktor
ajar tak menjelaskan lawan bicara, semua dianggap sama. “Mau kemana . . . .”, “Darimana
. . .”. Seolah menjadi retorika. Otomatis meluncur dari cangkem yang sok kenal.
Terlebih di jalanan yang pakai hukum rimba, tak pakai dan tak kenal status
sosial. Hantam kromo. Tak mengalami eufemisme
atau pelembutan, penghalusan bahasa.
Kendati rutin sua di tempat yang sama, selalu mendapatkan
pertanyaan yang sama. Sehari bisa lebih dari sekali. Itupun, saat berangkat dan
saat pulang. Nyaris semua kejadian berulang pada menu harian. Pola senyum,
sapa, salam lebih manusiawi. Kalau tak ngomong, rasanya cangkem jadi bisulan.
Kemajuan berbahasa sedikit bergeser dengan pengkayaan
kata. “Apa kabar . . .” tanpa jabat tangan, lumrah. Pihak pemberi akan mendapat
pahala. Soal jawaban ternyata nyatanya bisa bikin sebal. Lain pasal. Rutinitas berbahasa
dengan kalimat standar. Tidak lihat-lihat tempat dan lawan bicara.
Di depan rumah, berjemur pagi. Sedikit melangkah sambil
olah tangan. Disapa manusia yang liwat:”Mau kemana pak!”. Bukan tanya malah. Lebih
runyam, saat buka kap mesin mobil isteri. Lagi-lagi orang cuma liwat dengan
cerdas bertanya:”Mogok pak . . . .”.
Saking rutinnya menerima kalimat sapaan “Apa kabar . . . “.
Dari manusia yang sama. Jawaban yang meluncur, telah mengalami evolusi, menjadi
“Seperti biasanya”. Singkat dan ringan di mulut. Sama-sama tak perlu mikir. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar