#nusantaraSigap24jam,
antikorupsi vs mengamankan peluang
Wajar tanpa nalar, itulah praktik
benderang demokrasi nusantara. Ukuran kursi menentukan tarif dan harga jual. Apalagi
di struktur legislatif. Jabatan terkait fungsi anggaran atau terkait dengan K/L
dengan APBN/APBD 10 besar. Ada kursi ada tikus berdasi.
Jual beli suara pemilih. Tidak pakai
serangan fajar. Kawal surat suara. Cegat di titik kritis yang menjadi ajang
lelang. Semua pihak harus peka terhadap tantangan peluang. Bukan karena sekali
datang. Kalau tak dipancing tak akan mampir. Main untung-untungan yang bisa
untung atau malah buntung.
Korupsi suara pada pesta demokrasi.
Sekedar kesalahan administrasi. Sistem perhitungan atau rekapitulasi, tergantung
daya tahan manusia. Pakai asas ‘satu orang satu suara’ menjadi maknawi. Terjadi
pasal tak tertulis pemerataan suara. Tanpa diminta, pihak yang berkepentingan
merasa wajib T3. Daya tahan komisi perhitungan suara, tergantung kuat-kuatan
antar pihak.
Selama rancangan uang negara naik
tiap tahun akan berbanding lurus dengan meningkatnya modus tikus berdasi. Kasus
tipikal, berulang, memancing uang dengan uang. Di pintu utama masuk bandara,
pelabuhan besar bisa mendeteksi “barang tak bertuan”. Namun pelabuhan bebas bak
jalan tikus maupun transaksi terapung, bebas dari radar.
Atau, tahu-tahu tahu dan tempe asing
terjual santai di pasar tradisional. Kapan datangnya, bukan konsumsi rakyat.
Melihat hasil akhir saja tanpa menyimak
bagaimana prosesnya. Pengawasan akan sia-sia. Setiap langkah birokrasi sipil
maupun birokrasi militer adalah peluang. Tol laut tidak bisa tutup mata akan
tetap adanya penyelundupan tradisional.
Korupsi tidak sekedar penyelundupan
uang dari tangan ke tangan. Ingat semboyan, demokrasi tanpa uang hanya jalan di
tempat. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar