Halaman

Sabtu, 28 Desember 2019

Dinasti Politik vs Petugas Partai


Dinasti Politik vs Petugas Partai

Ternyata, sumber pertama bahkan utama konflik sosial adalah permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Indonesia belum mengenal pasal kejahatan politik, penyakit politik. Kendati secara nyata bencana politik menjadi bagian integral praktik demokrasi.

UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tepatnya pada Pasal 15, ayat (1), huruf c:  “Yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.”

Seberapa jauh cengkeraman, belitan, jebakan dinasti politik. Simak kejadian (bencana) politik 2014-2019. Presiden ketujuh RI oleh partai politik pengusungnya mendapat stigma hanya sekedar sebagai petugas partai. Dejure sebagai presiden. Parpol pengusung, sebuat saja oknum ketum, sebagai presiden defacto. Poisisnya malah sebagai RI-0,5.

Mitigasi bencana politik diperbarui tiap lima tahun sekali. Penyakit politik kian menambah khazanah, alternatif dinamis. Pembangunan demokrasi sesuai selera juara umum pesta demokrasi yang memborong semua kursi. Efek domino, efek karambol sentralisasi kekuasaan mutlak di geografis tertentu.

Diperparah ada kawanan birokrasi militer berimpit dengan birokrasi sipil. Mantan alat negara masih unjuk gigi di panggung politik. Sebagai sinyal bahwa kadar politisi sipil sudah masuk lampu kuning. Aktor non-negara pun ikut andil dalam dinamika politik dan pemerintahan. Pangkas birokrasi sipil diimbangi pemekaran kursi birokrasi militer.

Politisi sipil dari periode ke periode, membentuk watak jago kandang. Pihak yang layak kembali ke barak. Malah turun gunung. Imbalan politik mengguncang stabilitas karier sipil. Habis manis datang tagihan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar