Dinasti Politik vs Petugas
Partai
Ternyata,
sumber pertama bahkan utama konflik sosial adalah permasalahan yang berkaitan
dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Indonesia belum mengenal pasal
kejahatan politik, penyakit politik. Kendati secara nyata bencana politik
menjadi bagian integral praktik demokrasi.
UU
2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tepatnya pada Pasal 15,
ayat (1), huruf c: “Yang dimaksud dengan
"penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan pergelandangan,
pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan
manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.”
Seberapa
jauh cengkeraman, belitan, jebakan dinasti politik. Simak kejadian (bencana) politik
2014-2019. Presiden ketujuh RI oleh partai politik pengusungnya mendapat stigma
hanya sekedar sebagai petugas partai. Dejure sebagai presiden. Parpol
pengusung, sebuat saja oknum ketum, sebagai presiden defacto. Poisisnya malah
sebagai RI-0,5.
Mitigasi
bencana politik diperbarui tiap lima tahun sekali. Penyakit politik kian
menambah khazanah, alternatif dinamis. Pembangunan demokrasi sesuai selera
juara umum pesta demokrasi yang memborong semua kursi. Efek domino, efek
karambol sentralisasi kekuasaan mutlak di geografis tertentu.
Diperparah
ada kawanan birokrasi militer berimpit dengan birokrasi sipil. Mantan alat
negara masih unjuk gigi di panggung politik. Sebagai sinyal bahwa kadar
politisi sipil sudah masuk lampu kuning. Aktor non-negara pun ikut andil dalam
dinamika politik dan pemerintahan. Pangkas birokrasi sipil diimbangi pemekaran
kursi birokrasi militer.
Politisi
sipil dari periode ke periode, membentuk watak jago kandang. Pihak yang layak
kembali ke barak. Malah turun gunung. Imbalan politik mengguncang stabilitas
karier sipil. Habis manis datang tagihan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar