segitiga demit demokrasi
nusantara, demi kursi vs karena kursi vs untuk kursi
Amit-amit jabang bayi demokrasi, kapan jadi manusia. Kalau
sudah besar nanti. Jangan tiru kisah di Malin Kundang. Apalagi melanjutkan
dengan konten berbeda. Hitam putihnya anak, tergantung pola asah, asih, asuh
kedua orangtuanya. Soal kakek moyangku bukan petani. Perut sarat kandungan nasi
gizi global. BB sesuai kondite negara berkembang.
Demokrasi nusantara
beda makna dengan demokrasi impor. Ayo simak sila keempat Pancasila “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Lugas
tak perlu ilmu. Tapi jangan ditafsirkan, bahwa sosok rakyat, nasibnya berada pada
wujud hikmat.
Dipastikan, pihak yang duduk di lembaga Permusyawaratan/Perwakilan
memperoleh hikmat kebijaksanaan. Sehingga duduk diamnya saja sudah menandakan,
menunjukkan, membuktikan sebagai orang bijak. Tak pakai ulah atau modus
rekayasa agar tampak berkinerja. Jangan sampai sebelum jatuh tempo sudah
kepleset, terperosok ke lubang yang sama.
Kaidah dasar kehidupan rakyat dalam demokrasi, disebut
kehidupan bermasyarakat. Jika rasa nasionalisme sudah mewujud, masuk bursa
kehidupan berbangsa. Sudah tahu apa itu politik.
Rakyat menyadari apa itu kebenaran. Tiga patron
kebenaran: kebenaran etis, kebenaran dogmatis, kebenaran hakiki. Jadi rasanya,
kebenaran bukan harga mati. Persepsi kebenaran menjadi luwes, dinamis. Berangkat
dari adat-isitiadat, norma maupun kearifan lokal dan kecerdasan lokal.
Demokratisasi atau praktik demokrasi, acap merupakan
pilihan tanpa pilihan atau alternatif. Pelaku utama demokrasi disebut atau pada
manusia politik. Anggaran demokrasi, biaya politik, ongkos politik sampai kurs
tengah kursi. Terjadilah yang seharusnya hanya terjadi di atas kertas.
Ternyata panggung politik nusantara didominasi manusia
ekonomi plus alat negara yang berjasa bagi penguasa, pejawat/petahana, penguasa
berlanjut. Serangan fajar cuma buang uang. Cegat atau hadang di penentu rekap. Ada
praktik balai lelang kursi negara.
Jangan heran bin takjub, mesin demokrasi periode lanjutan
belum panas. Ada pihak terduga penyandang kursi langsung acak-acak demokrasi. Tak
bisa dipidanakan karena pakai jurus “kacang lupa pada kulitnya”. Beda jauh
dengan pihak yang sibuk “cuci piring” warisan pendahulunya.
Nusantara sebagai negara teater, dimana yang mana teater politik
menjadi ajang bernegara.
Dua alenia terakhir sebagai pengakhir, saya copas
dari “Faslasafah Kepemimpinan Jawa”, Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. FBS
Universitas Negeri Yogyakarta, 2013.
"Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang
zaman. Sementara raja itu tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa
tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat
terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman. Menjadi punakawan, hamba
yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Kawula iku ana
tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates (rakyat itu ada tanpa batas,
sedangkan raja itu ada secara terbatas)", kata Petruk.
Petruk makin menyadari, siapa diri rakyat itu sebenarnya.
Hanyalah rakyat yang dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya.
"Maka seharusnya penguasa itu menghargai kawula. Penguasa itu harus
berkorban demi kawula, tidak malah ngrayah uripe kawula (menjarah hidup
rakyat). Kwasa iku kudu ana lelabuhane (kuasa itu harus mau berkorban).
Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia masih berkuasa, ia
tidak akan di-petung (dianggap) oleh rakyat. Raja itu bukan raja lagi ,
kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa
menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah
raja yang koncatan (ditinggalkan) wahyu," kata Petruk.
Selamat menyimak. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar