Halaman

Senin, 09 Desember 2019

segitiga demit demokrasi nusantara, demi kursi vs karena kursi vs untuk kursi


segitiga demit demokrasi nusantara, demi kursi vs karena kursi vs untuk kursi

Amit-amit jabang bayi demokrasi, kapan jadi manusia. Kalau sudah besar nanti. Jangan tiru kisah di Malin Kundang. Apalagi melanjutkan dengan konten berbeda. Hitam putihnya anak, tergantung pola asah, asih, asuh kedua orangtuanya. Soal kakek moyangku bukan petani. Perut sarat kandungan nasi gizi global. BB sesuai kondite negara berkembang.

Demokrasi nusantara  beda makna dengan demokrasi impor. Ayo simak sila keempat Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Lugas tak perlu ilmu. Tapi jangan ditafsirkan, bahwa sosok rakyat, nasibnya berada pada wujud hikmat.

Dipastikan, pihak yang duduk di lembaga Permusyawaratan/Perwakilan memperoleh hikmat kebijaksanaan. Sehingga duduk diamnya saja sudah menandakan, menunjukkan, membuktikan sebagai orang bijak. Tak pakai ulah atau modus rekayasa agar tampak berkinerja. Jangan sampai sebelum jatuh tempo sudah kepleset, terperosok ke lubang yang sama.

Kaidah dasar kehidupan rakyat dalam demokrasi, disebut kehidupan bermasyarakat. Jika rasa nasionalisme sudah mewujud, masuk bursa kehidupan berbangsa. Sudah tahu apa itu politik.

Rakyat menyadari apa itu kebenaran. Tiga patron kebenaran: kebenaran etis, kebenaran dogmatis, kebenaran hakiki. Jadi rasanya, kebenaran bukan harga mati. Persepsi kebenaran menjadi luwes, dinamis. Berangkat dari adat-isitiadat, norma maupun kearifan lokal dan kecerdasan lokal.

Demokratisasi atau praktik demokrasi, acap merupakan pilihan tanpa pilihan atau alternatif. Pelaku utama demokrasi disebut atau pada manusia politik. Anggaran demokrasi, biaya politik, ongkos politik sampai kurs tengah kursi. Terjadilah yang seharusnya hanya terjadi di atas kertas.

Ternyata panggung politik nusantara didominasi manusia ekonomi plus alat negara yang berjasa bagi penguasa, pejawat/petahana, penguasa berlanjut. Serangan fajar cuma buang uang. Cegat atau hadang di penentu rekap. Ada praktik balai lelang kursi negara.

Jangan heran bin takjub, mesin demokrasi periode lanjutan belum panas. Ada pihak terduga penyandang kursi langsung acak-acak demokrasi. Tak bisa dipidanakan karena pakai jurus “kacang lupa pada kulitnya”. Beda jauh dengan pihak yang sibuk “cuci piring” warisan pendahulunya.

Nusantara sebagai negara teater, dimana yang mana teater politik menjadi ajang bernegara.

Dua alenia terakhir sebagai pengakhir, saya copas dari “Faslasafah Kepemimpinan Jawa”, Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. FBS Universitas Negeri Yogyakarta, 2013.

"Memang, kawula, sang rakyat ini ada sepanjang zaman. Sementara raja itu tidaklah abadi. Ia bertahta hanya dalam masa tertentu. Ketika masa itu lewat, ia harus turun atau binasa. Sementara rakyat terus ada. Buktinya, saya ini ada di sepanjang zaman. Menjadi punakawan, hamba yang menemani penguasa dari masa ke masa, sampai hari ini. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates (rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas)", kata Petruk.

Petruk makin menyadari, siapa diri rakyat itu sebenarnya. Hanyalah rakyat yang dapat membantu penguasa untuk menuliskan sejarahnya. "Maka seharusnya penguasa itu menghargai kawula. Penguasa itu harus berkorban demi kawula, tidak malah ngrayah uripe kawula (menjarah hidup rakyat). Kwasa iku kudu ana lelabuhane (kuasa itu harus mau berkorban). Kuasa itu bahkan hanyalah sarana buat lelabuhan, kendati ia masih berkuasa, ia tidak akan di-petung (dianggap) oleh rakyat. Raja itu bukan raja lagi , kalau sudah ditinggal kawula. Siapa yang dapat memangkunya, agar ia bisa menduduki tahta, kalau bukan rakyat? Raja yang tidak dipangku rakyat adalah raja yang koncatan (ditinggalkan) wahyu," kata Petruk.

Selamat menyimak. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar