Sinyal Politis Presiden Kepada KPK
Presiden mewacanakan hukuman mati bagi koruptor. Pasti
akan menimbulkan reaksi pro dan kontra. Tanggapan dari partai politik tak akan
lepas dari rekam jejak sejumlah kadernya yang menjadi warga binaan kasus
tipikor. Bukan murni bahasa hukum, demi menegakkan hukum. Korupsi tidak sekedar
penyelundupan uang dari tangan ke tangan. Ingat semboyan, demokrasi tanpa uang
hanya akan jalan di tempat.
Asumsi rakyat lebih simpel, praktis dan sederhana.
Mengacu episode “Buaya vs Cicak” seolah presiden tak mau kalah akal.
Melontarkan wacana bak gaya kontra produktif, terselubung. Bisa sebagai lampu
kuning bagi Komisioner KPK 2019-2023. Target fisik dan sasaran fungsional KPK
tak bisa ditetapkan tiap tahun anggaran. Analog dengan tindak cegah tangkal
aksi teroris.
Ruang gerak OTT KPK perlu restu pihak pengawas. Pengguna
APBN/APBD seolah mendapat jaminan aman-aman dari jangkauan KPK. Demi
tercapainya pembangunan ibukota negara baru. Parpol koalisi pro-penguasa liwat
wakil rakyat, pembantu presdien, tak perlu was-was jika melakukan kesalahan
administrasi. Bahasa jelasnya, “sesama buaya jangan saling makan”. Plesetan pariwara
“buaya makan buaya”.
Semua pihak potensial pelaku tipikor, wajib peka terhadap
tantangan peluang yang penuh aneka jebakan. Melihat hasil akhir saja tanpa
menyimak bagaimana prosesnya. Pengawasan akan sia-sia. Setiap langkah pengguna
anggaran, birokrasi sipil maupun birokrasi militer adalah peluang. Pengawasan
melekat vs penindakan dini, tidak bisa
tutup mata akan tetap adanya” penyelundupan tradisional”. Korupsi esatafet,
sistem kurir serta modus teranyarkan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar