Halaman

Kamis, 12 Desember 2019

biarkan orang jujur menilaimu


biarkan orang jujur menilaimu

Dengan catatan, tahu tempat untuk menempatkan diri. Tahu diri untuk membawakan diri. Tahu waktu untuk buka mulut. Jangan abaikan jika sudah menangkap sinyal aroma irama daerah tujuan atau rute yang akan diliwati. Sah-sah saja dengan adat, kelaziman melangkah keluar rumah. Beda waktu akan beda proses. Kendati proses harian yang rutin, tipikal, menerus, berulang. Memutar ulang kehidupan.

Cerita jadi lain ketika ada pihak yang merasa “menemukan” nilai dasar religi yang lebih modern. Pemurnian akal selama bereligi sambil mematut riwayat diri dengan laju peradaban berbangsa dan bernegara. Toleransi atau sama-sama merasa aman dari saling bersentuhan secara fisik.

Menerima fakta yang dianggap sebagai resiko hidup bermasyarakat. Ikut arus peradaban. Merasa tak nyaman jika kehadirannya hanya dipandang sebelah mata. Akhirnya, berpikir berbasis akal diri. Bagaimana mengumumkan eksistensi diri, jari diri, wibawa diri, pesona diri. Semua ikhwal yang tak dibutuhkan pihak luar diri.

Yakin diri dengan tampilan apa adanya, tanpa rekayasa, bebas manipulasi. Soal pasal tidak pada tempatnya, abaikan. Asal diri merasa nyaman dengan perwujudan, penampakan, tampilan raga diri, ekspresi alami. Pola ramah lingkungan, mengelola tekanan dunia seutuhnya. Menggeser fokus urusan akhirat. Dikerjakan nanti, di saat waktu luang, waktu tersisa. Kalau sempat, kalau ingat, kalau niat.

Kandungan lokal yang dinamis, berubah sesuai asupan gizi, didaulat sebagai panutan diri. Lebih mengikuti alunan aroma irama gejolak lokal. Sejatinya hidup adalah mengemban diri ini di jalur pemilik diri ini. Pakai aturan-Nya. Kendati kita seolah merasa punya hak prerogratif, privilese atas diri sendiri.

Tanpa sadar mencampuradukkan. Wallahu a’lam bisshawab. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar