éra mégatéga, skenario konflik vs konflik skenario
Model
berpikir kritis, praktis, ekonomis, sedikit matematis. Modal mengkombinasikan 2
atau 3 kata menjadi judul. Karakter judul yang memikat,
memukau pandangan pertama pemirsa. Sekilas simak langsung paham manfaat cerna
narasi atau isi.
Lima
foném a.k.r.s.u membentuk kata rasuk, kasur, rusak, kuras, saruk, sukar, rakus.
Aplikasi sederhana: “kasur ini rusak”.
Dibaca dari kanan maupun dari kiri. Hukum berbanding lurus dan atau hukum berbanding terbalik terjadi dalam
kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.
Rakyat hanya tertawa
getir. Hati ketar-ketir. Tak bisa komen atau berujar apapun. Seperti
menyaksikan kucing heboh minta kawin. Kejar-kejaran di sembarang tempat dan
bebas waktu. Tak kenal malu. Obat mujarabnya hanya dengan disiram air.
Melahirkan fenomena sosial kramadimarga.
Frasa
“gotong royong” merupakan produk paripurna peras–resap–serap lima sila dasar
negara. Mudah dicerna diganda menjadi sebutan
“goro-goro”. Acara-adegan-acara muncul tengah malam. Paling ditunggu,
dinantikan pemirsa penggemar wayang kulit.
Konon,
jika kontribusi, kiprah, kinerja nyata anak bangsa – dalam bentuk gotong royong
dan atau persatuan Indonesia – maka beban hidup bangsa bisa diatasi, ditanggung
bersama dalam waktu tertentu. Minimal sesuai rencana dan tidak mulur.
Tayang yang akan datang
“tunjangan sosial vs jaminan politik”. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar