Halaman

Rabu, 19 Juli 2023

tanggungan bersama mbokdé mukiyo, dudu tunggangan bareng

tanggungan bersama mbokdé mukiyo, dudu tunggangan bareng

Ternyata panggung sandiwara politik nusantara bebas babak, penuh kisah, sarat intrik, jenuh konflik. Tidak sekedar daur ulang jasa kakek nenek moyangnya. Sekaligus juga melibatkan dendam, kebencian, agresi dan intimidasi. Secara tak langsung menjabarkan ketumpulan supremasi negara hukum. Bukti awal dimana moralitas publik mulai memudar.

Masalahnya, kalau sudah urusan negara, rakyat lebih baik nyingkir. Ketimbang disingkirkan secara yuridis tak terlacak. Padahal aksi peminggiran – termasuk marginalisasi – operasi senyap lenyap secara sistematis. Daripada daripada. Kirim doa dan jaga diri agar tak terkontaminasi. Perkuat barisan tapak tanah dan akar rumput, sigap menjadi obyek pijakan, injakan pihak kawal nusa.

Ketika bumi menggeliat tersadar, baru sadar. Punggung bumi menjadi ajang saling libas, gerakan aksi literasi anarkis, lokus memancing kerusuhan di air keruh. Amuk massa, tawuran secara massal, kolosal jika rencana utama meragukan.  

Hidup berat sebelah. Raga merdeka tapi jiwa terjajah. Demi peradaban berpembangunan nasional bermasa depan. Tak ada aib menerima bantuan tapi utang dari negara paling bersahabat. Rakyat wajib gubah-ubah-rubah nasib diri. Pemerintah menyediakan lapangan cipta kerja dan bidang usaha serba usaha. Bahkan sampai urusan satu siung bawang putih, sejumput garam dapur, butir-butir beras perlu campur tangan aneka pihak yang berkepentingan.

Kita bercermin, kilas balik pada prinsip “pemenang mengambil semua” (the winner takes all). Tak bosan saya menulis lagi bahwa praktek demokrasi, menjadikan kedaulatan ada di tangan pemenang pemilu.

Dominasi kalkulasi urusan dunia sedemikian njlimet tapi dilakoni. Mau dibilang norak, tidak tahu tata krama, bukan masalah. Lompatan jauh itulah yang diandalkan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar