tanggungan bersama mbokdé mukiyo, dudu tunggangan bareng
Ternyata
panggung sandiwara politik nusantara bebas babak, penuh kisah, sarat intrik,
jenuh konflik. Tidak
sekedar daur ulang jasa kakek nenek moyangnya. Sekaligus juga melibatkan
dendam, kebencian, agresi dan
intimidasi. Secara tak langsung menjabarkan ketumpulan supremasi negara hukum.
Bukti awal dimana moralitas publik mulai memudar.
Masalahnya, kalau
sudah urusan negara, rakyat lebih baik nyingkir. Ketimbang disingkirkan
secara yuridis tak
terlacak. Padahal aksi peminggiran – termasuk marginalisasi – operasi senyap
lenyap secara sistematis. Daripada
daripada. Kirim doa dan jaga diri agar tak terkontaminasi. Perkuat barisan
tapak tanah dan akar rumput, sigap menjadi obyek pijakan, injakan pihak
kawal nusa.
Ketika bumi menggeliat tersadar,
baru sadar. Punggung bumi menjadi ajang saling libas, gerakan aksi literasi
anarkis, lokus memancing kerusuhan di air
keruh. Amuk massa, tawuran secara massal, kolosal jika rencana utama meragukan.
Hidup berat sebelah. Raga merdeka
tapi jiwa terjajah. Demi peradaban berpembangunan nasional bermasa depan. Tak ada aib menerima bantuan tapi
utang dari negara paling bersahabat. Rakyat wajib gubah-ubah-rubah nasib diri. Pemerintah menyediakan
lapangan cipta kerja dan bidang usaha serba usaha. Bahkan sampai urusan satu siung bawang putih, sejumput
garam dapur, butir-butir beras perlu campur tangan aneka pihak yang berkepentingan.
Kita bercermin,
kilas balik pada prinsip “pemenang mengambil semua” (the winner takes all).
Tak bosan saya menulis lagi bahwa praktek demokrasi, menjadikan kedaulatan ada
di tangan pemenang pemilu.
Dominasi
kalkulasi urusan dunia sedemikian njlimet tapi dilakoni. Mau dibilang
norak, tidak tahu tata krama, bukan masalah. Lompatan jauh itulah yang
diandalkan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar