Halaman

Selasa, 12 Juli 2016

SENYAP di pusaran badai politik



SENYAP di pusaran badai politik

Peribahasa “tikus mati di lumbung” tak berlaku di panggung politik. Mungkin malah keterbalikannya, banyak pekerja, pesuruh, pelaku politik yang minim prestasi malah bisa mati kelebihan gizi, minimal sakit hilang hati nurani akibat over gizi. Jangan bilang seperti itu, kuwalat. Partai sebagai sumber utama penghasilan, memang tidak bisa dipungkiri. Dinasti politik utawa politik keluarga menjawab apa guna partai politik.

Bentuk partai politik di Indonesia pasca Reformasi, memang bukan seperti paguyuban maupun sampai bukan usaha profesional berbasis amal bakti. Kita saksikan bersama betapa tingkah laku, modus operandi oknum ketua umum sampai bolo dupak partai. Lagi-lagi ujar di dalang Nasgitel, watak manusia yang bisa diwujudkan dalam riasan raut muka dan warna bedak wajah, yang ada disemua jagad wayang Nusantara, masih kalah banyak dengan perwatakan wayang politik. Tidak pandang gender, tidak pilih bulu, tidak ambil peduli tingkat pendidikan formal, tidak tentukan golongan darah.

Yang tidak bikin habis pkir, dan memang jangan paka kaca mata moral, betapa teganya anak bangsa yang “pejah gesang nderek partai” tega hidup di era megatega dengan bertepuk tangan di atas penderitaan orang lain. Ataukah karena berideologi dilaksanakan melebih pelaksanaan kepercayaan dan agama masing-masing. Terlebih ada niatan tulus penguasa untuk menghilangkan kolom agama pada E-KTP.

Jangan salah sangka, keliru duga, silap terka, khilaf dakwa, alpa kira bukannya anak bangsa tidak belajar berpolitik yang pernah dilakukan, dikerjakan, dilaksanakan oleh nenek moyang kita. Bahkan jauh sebelum VOC datang. Cuma sayangnya, hanya satu butir yang diserap, diamalkan dan dikembangbiakkan menjadi dogma ideologi yaitu berjibaku dengan kendaraan partai politik hanya untuk merebut kekuasaan secara konstitusional, legal, sesuai pasal yuridis formal. Hasil pertama dan dampak utama yaitu tidak siap menang di pesta demokrasi.

Kendati revolusi mental, yang didalamnya mengandung unsur bela negara, komponen ketahanan politik, anasir peduli lingkungan, serta dilaksanakan secara berjilid antar periode, malah membuktikan sebagai pelipur lara, pengalih rasa, pengharu-rasa maupun versi penghiba-hiba.

Memanfaatka kebaikan media masa yang getol umbar sensasi, memang nyatanya banyak oknum penyelenggara negara yang sedang kontrak politik lima tahun, ada yang duduk manis semanis rasa gula artifisial, imitasi, sintetis. Yang penting dengan modal warisan dapat nangkring dan nongkrong di pucuk pohon, bertengger di nama besar nenek oyangnya yang bukan orang pelaut. Ada pula yang mati-matian karena memang dasarnya profesional, berjiwa padamu negeri jiwa raga kami.

Yang jelas politik reformasi merupakan perpaduan gaya hantam kromo zaman Orde Lama dengan kalau “tidak bisa dirangkul, wajib didengkul”-nya dibalik senyum sang jenderal besar penguasa tunggal Orde Baru. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar