SENYAP di pusaran badai
politik
Peribahasa “tikus mati di lumbung” tak berlaku di panggung politik. Mungkin
malah keterbalikannya, banyak pekerja, pesuruh, pelaku politik yang minim prestasi
malah bisa mati kelebihan gizi, minimal sakit hilang hati nurani akibat over
gizi. Jangan bilang seperti itu, kuwalat. Partai sebagai sumber utama
penghasilan, memang tidak bisa dipungkiri. Dinasti politik utawa politik
keluarga menjawab apa guna partai politik.
Bentuk partai politik di Indonesia pasca Reformasi, memang bukan seperti
paguyuban maupun sampai bukan usaha profesional berbasis amal bakti. Kita saksikan
bersama betapa tingkah laku, modus operandi oknum ketua umum sampai bolo dupak
partai. Lagi-lagi ujar di dalang Nasgitel, watak manusia yang bisa diwujudkan
dalam riasan raut muka dan warna bedak wajah, yang ada disemua jagad wayang
Nusantara, masih kalah banyak dengan perwatakan wayang politik. Tidak pandang
gender, tidak pilih bulu, tidak ambil peduli tingkat pendidikan formal, tidak
tentukan golongan darah.
Yang tidak bikin habis pkir, dan memang jangan paka kaca mata moral, betapa
teganya anak bangsa yang “pejah gesang
nderek partai” tega hidup di era megatega dengan bertepuk tangan di atas
penderitaan orang lain. Ataukah karena berideologi dilaksanakan melebih
pelaksanaan kepercayaan dan agama masing-masing. Terlebih ada niatan tulus
penguasa untuk menghilangkan kolom agama pada E-KTP.
Jangan salah sangka, keliru duga, silap terka, khilaf dakwa, alpa kira
bukannya anak bangsa tidak belajar berpolitik yang pernah dilakukan,
dikerjakan, dilaksanakan oleh nenek moyang kita. Bahkan jauh sebelum VOC
datang. Cuma sayangnya, hanya satu butir yang diserap, diamalkan dan dikembangbiakkan menjadi dogma ideologi yaitu berjibaku dengan kendaraan partai
politik hanya untuk merebut kekuasaan secara konstitusional, legal, sesuai
pasal yuridis formal. Hasil pertama dan dampak utama yaitu tidak siap menang di pesta demokrasi.
Kendati revolusi mental, yang didalamnya mengandung unsur bela negara, komponen
ketahanan politik, anasir peduli lingkungan, serta dilaksanakan secara berjilid
antar periode, malah membuktikan sebagai pelipur lara, pengalih rasa,
pengharu-rasa maupun versi penghiba-hiba.
Memanfaatka kebaikan media masa yang getol umbar sensasi, memang nyatanya
banyak oknum penyelenggara negara yang sedang kontrak politik lima tahun, ada
yang duduk manis semanis rasa gula artifisial, imitasi, sintetis. Yang penting
dengan modal warisan dapat nangkring dan nongkrong di pucuk pohon, bertengger
di nama besar nenek oyangnya yang bukan orang pelaut. Ada pula yang mati-matian
karena memang dasarnya profesional, berjiwa padamu negeri jiwa raga kami.
Yang jelas politik reformasi merupakan perpaduan gaya hantam kromo zaman Orde Lama dengan kalau “tidak bisa dirangkul,
wajib didengkul”-nya dibalik senyum sang jenderal besar penguasa tunggal Orde
Baru. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar