Halaman

Sabtu, 09 Juli 2016

radikalisme dan fanatisme ideologi hambat revolusi mental



radikalisme dan fanatisme ideologi hambat revolusi mental

Indonesia patut bangga, walau tak perlu besar kepala, prestasi orang politik periode 2014-2019 mampu memformulasikan revolusi mental secara tepat manfaat, tepat guna dan tepat sasaran. Buktinya, KPK banyak menganggur dan nyaris bangkrut, gulung tikar, bisa-bisa bisa tinggal kenangan. Rakyat merasakan langsung harga sandang pangan terkendali secara sistematis di atas kertas.

Singkat kata, banyak oknum orang politik yang mendaulat ketua umum partainya sebagai pepundén. Terlebih presiden Jokowi masih kental dengan seluk beluk, gugon-tuhon Jawa. Terjadi 6 bentuk simbiosis yakni simbiosis mutualisme, simbiosis parasitisme, simbiosis komensalisme, simbiosis amensalisme, simbiosis kompetisi, dan simbiosis netralisme yang menerpa wajah politik koalisi pro-pemeritah, koalisi oposisi maupun koalisi pro-rakyat. Terjadi hubungan timbal-balik. Para kroni, kroco, relawan, bolo dupak, konco dhewe, simpatisan yang mungkin sedikit banyak sudah berbau dan tahu ambisi pribadi atau kelompok serta dari pihak ketua umum partai politik mempunyai hak prerogative yang bisa menentukan “nasib” semua rakyat partai politiknya. Persaingan bebas unjuk prestasi terbelenggu kebijakan partai.

Hubungan timbal balik semangkin drastis, ketika oknum krtua umum sebauah partai penguasa, terkenal gila sanjung, gila hormat. Menunggu lama orang memuji dirinya, akhirnya tanpa sungkan ybs memuji dirinya sebagai yang mengandalkan rupa, masuk kategori anak cerdas sehingga bebas SPP, dan sederet puja puji diri yang tidak ada di kamus gaul manapun. Kurangnya Cuma satu, semua tumpukan sanjungan, sebutan, atau gelar kehormatan tidak ada satupun yang diberikan oleh lawan politknya. Walau sudah masuk klas nasional, mungkin keberadaannya, eksistensinya masih kurang diperhitungkan. Hanya numpang nampang, numpang liwat tanpa kenangan politis secuilpun, sehisapan jempolpun.

Walhasil, mungkinkah akibat para pengambisi mampu duduk sebagai penylenggara negara di periode 2014-2019 sebagai akibat politik transaksional, diimbangi dengan perwakilan kalangan profesional serta pejabat karir, malah menjadikan revolusi mental hanya berlaku satu periode saja. Meninggalkan bom waktu, PR bangsa serta hutang moral bagi generasi penerus.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar