Halaman

Selasa, 19 Juli 2016

habis vaksin palsu terbitlah pejabat palsu



habis vaksin palsu terbitlah pejabat palsu

Hébat nian dunia politik lokal Nusantara. Di éra mégatéga, di periode mégakasus, di babakan mégamendung ini, walau tidak siap dengan konsep bernegara ala rakyat, yang penting buat tingkah laku, yang pokok susun modus operandi, yang utama gebrakan unjuk diri. “Ini gué Bung!”. Jangan berani-berani membantah apalagi melawan nafsu politik yang terpendam selama dua periode. Kebelet kawin politik atau butuh penyaluran gelora syahwat politik, sudah sampai ubun-ubun. Akhirnya terjadi asal tubruk. Terjadilah asal candak, melahirkan kredit cabdak kulak utawa politik transaksional.

Hingar-bingar pergolakan pelaku, pemain, pekerja politik pasca reformasi, begitu kentara di periode 1999-2004. Tak salah kalau presiden keempat RI, gus Dur, menamakan wakil rakyat sebagai dan bagaikan anak TK. Mungkin saat itu belum resmi berlaku PAUD. Satu periode dengan dua presiden, bukannya tanpa efek domino bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bernegara. Justru setelah itu dinamika politik sudah menunjukkan perubahan yang mendasar. Jika pak Harto pandai memanfaatkan orang pandai, maka SBY diakali dan dikadali oleh orang pandai yang pandai-pandai unjuk muka, unjuk diri tanpa sungkan dan rasa malu secuwilpun.

Jadi, sisa reformasi dengan pola merajuk bak anak TK, minta dikasihani agar bisa tetap tampil, tetap eksis. Akibat politik banting harga, pondasi negara peninggalan SBY menjadi mangkrak. Oknum bahkan barisan kawanan parpolis pemenang pesta demokrasi 2014, berlomba mendirikan pilar kebangsaan. Agar tampak heroik, tampak di negara tetangga, semua sepakat tanpa sepakat untuk menggunakan ramuan revolusi mental.


Revolusi mental menjadi obat mujarab, manjur, cespleng untuk mengobat semua jenis penyakit politik. Mulai penyakit bawaan dari sono-nya, penyakit kambuhan, penyakit dadakan sampai penyakit khas hanya ybs dan Allah yang tahu. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar