habis vaksin
palsu terbitlah pejabat palsu
Hébat nian dunia politik lokal Nusantara. Di éra mégatéga,
di periode mégakasus, di babakan mégamendung ini, walau tidak siap dengan
konsep bernegara ala rakyat, yang penting buat tingkah laku, yang pokok susun
modus operandi, yang utama gebrakan unjuk diri. “Ini gué Bung!”. Jangan
berani-berani membantah apalagi melawan nafsu politik yang terpendam selama dua
periode. Kebelet kawin politik atau butuh penyaluran gelora syahwat politik,
sudah sampai ubun-ubun. Akhirnya terjadi asal tubruk. Terjadilah asal candak,
melahirkan kredit cabdak kulak utawa politik transaksional.
Hingar-bingar
pergolakan pelaku, pemain, pekerja politik pasca reformasi, begitu kentara di
periode 1999-2004. Tak salah kalau presiden keempat RI, gus Dur, menamakan
wakil rakyat sebagai dan bagaikan anak TK. Mungkin saat itu belum resmi berlaku
PAUD. Satu periode dengan dua presiden, bukannya tanpa efek domino bagi
kehidupan berbangsa, bernegara dan bernegara. Justru setelah itu dinamika
politik sudah menunjukkan perubahan yang mendasar. Jika pak Harto pandai
memanfaatkan orang pandai, maka SBY diakali dan dikadali oleh orang pandai yang
pandai-pandai unjuk muka, unjuk diri tanpa sungkan dan rasa malu secuwilpun.
Jadi, sisa
reformasi dengan pola merajuk bak anak TK, minta dikasihani agar bisa tetap
tampil, tetap eksis. Akibat politik banting harga, pondasi negara peninggalan
SBY menjadi mangkrak. Oknum bahkan barisan kawanan parpolis pemenang pesta
demokrasi 2014, berlomba mendirikan pilar kebangsaan. Agar tampak heroik, tampak
di negara tetangga, semua sepakat tanpa sepakat untuk menggunakan ramuan
revolusi mental.
Revolusi mental menjadi obat mujarab, manjur, cespleng untuk mengobat semua jenis penyakit politik. Mulai penyakit bawaan dari sono-nya, penyakit kambuhan, penyakit dadakan sampai penyakit khas hanya ybs dan Allah yang tahu. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar