Halaman

Sabtu, 23 Juli 2016

menunggu presiden bersin



menunggu presiden bersin

Walau sama-sama menggunakan sarana mulut, namun antara bersin, batuk, menguap, bersendawa tidak mempunyai hakikat yang sama menurut kaidah agama Islam.  Kalangan kedokteran, medis serta pengobatan akhirnya mampu mengurai penyebab dan dampaknya. Analisisnya semakin memperkuat mengapa Islam seolah sedemikian rinci, detil mengulas adabnya.

Polusi udara bisa memacu dan memicu empat atau lebih olah mulut tadi.  Gaya hidup, pola makan serta asupan ideologi mampu mengendalikan laju olah mulut tadi.  Di waktu manusia lelap, olah mulut secara otomatis sesuai mekanisme tubuh tetap beroperasi. Ngorok, mengingau, mendusin, ngeces utawa ngiler, menambah deretan pertanda sinyal baik/buruk bagi ybs.

Kesemua bahasan tadi, mungkin bisa terkait dengan adanya gerakan buang gas alias kentut. Walhasil, sampah yang keluar dari tubuh manusia melalui lubang tubuh yang ada.

Meludah sembarang tempat, buang dahak, ingus tanpa malu, sudah menjadi pemandangan biasa. Bahkan di kendaraan umum.

Ironis, faktor kejiwaan semakin menjadikan manusia perlu energi pelepas beban moral. Lihat saja, banyak anak manusia menjadikan merokok sampai menegak miras sebagai upaya penenangan diri, menstabilkan jiwa raga. Penat hidup ada yang pilih mengkonsumsi narkoba untuk jalan keluar sesaat dan sesat.

Nusantara ini mengenal  pasal merebut kekuasaan pemerintahan secara konstitusional dengan berpolitik. Liwat atau dengan cara pesta demokrasi lima tahunan. Militer atau pihak tertentu tidak mempunyai peluang untuk makar. Terkecuali PKI di tahun 1948 dan 1965 yang tidak sekedar kudeta, tetapi mau mengkomuniskan Indonesia. Komunis beda sisi dengan kapitalis, yang tujuannya sama yaitu bentuk penjajahan manusia atas manusia.

Polusi udara politik sudah mengakibatkan kawanan loyalis ketua umum partai menjadi lupa daratan tetapi tetap ingat berhala Reformasi 3K (Kuasa, Kuat, Kaya). Yang sedang nangkring dan nongkrong sebagai penyelenggara negara, dibetah-betahkan dengan cara memanipulasi watak diri. Sampai mereka lupa, apakah sedang hidup bersandiwara atau melakoni babakan hidup sesuai skenario dan konspirasi ideologi.

Nyatanya, manusia politik Nusantara bak kucing bernyawa rangkap sembilan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar