Halaman

Minggu, 17 Juli 2016

RASA MALAS, dampak manjakan diri vs memposisikan diri



RASA MALAS, dampak manjakan diri vs memposisikan diri

Rasa malas menjadi ciri dan hakikat manusia yang masih ingin hidup seribu tahun lagi. Pas mau memulai tulisan ini, iseng keluar rumah mencari wangsit di jalanan, siapa tahu tercecer ide, inspirasi dan pemacu inisaitif untuk olah kata. Bukan kebetulan, dari arah kiri atau barat rumah, liwat abang tukang beli barang bekas. Saya tengok, gerobag tariknya isi buka mata pelajaran sekolah apa, tidak tahu. Mungkin, saking banyaknya buku ajar, sehingga ganti tahun ajaran, langsung kadaluwarsa, siap buku ajar baru. Siap seragam baru untuk anak didik baru.

Si abang, bapak-bapak berpostur tingggi besar, masih gagah, muda, ramah dan tak tahu malu. Mungkin, dengan postur tubuh seukurannya, bisa jadi centeng, tukang pukul, tukang tagih utang. Karena wajahnya yang bersahaja, nyaris lugu, menjadikan si abang tahu diri. Kita tidak tahu, sudah berapa rit dia jalani. Sudah berapa route dia tapaki. Melawan terik matahari, dilawan dengan topi. Beda dengan abang PSK (pedagang sayur keliling), gerobak dorongnya dilengkapi payung, kaca spion, ember berisi air, dsb. Langganan abang PSK didominasi ibu rumah tangga, pramuwisma, atau bapak-bapak yang gemar kuliner.

Jangan terjebak dengan orang yang berpenampilan malas, ogah-ogahan. Jalan kaki saja tak semangat, langkah diseret.macam sedang menarik dan atau membawa beban berat. Sudah menjadi berita umum, penampilan lusuh namun idenya necis, rapih dan enak dipandang. Mengacu cerita di atas, juragan barang bekas bukannya rakyat msikin, masyarakat berpenghasilan serba pas dan cukup. Rumah tinggalnya tak kalah keren dengan yang tinggal di kompleks perumahan KPR-BTN.

Lain cerita, seorang bapak pensiunan PNS, mantan pejabat, merasa cukup dengan pensiun sekecil  4 juta Rp sebulan. Berkali-kali membanggakan diri, jika ada yang mengajaknya sibuk, aktif uber rezeki. Jawabannya klasik, yaitu “ingin duduk manis”. Sudah puluhan tahun mengabdi kepada negara. Di rumah, MC (momong cucu) sambil menikmati perjalanan jarum panjang. Diselingi jalan kaki menapak jalan di lingkungan tempat tinggal.

Malas memang tidak monopoli dengan kegiatan, aktivitas, kerja atau seluk-beluk daya juang lainnya. Ukuran malas bisa dilihat pada ikhwalnya untuk bangun pagi. Karena ukuran malas anak bangsa, dilihat yang utama dan pertama adalah bangun pagi. Kehidupan harian manusia sebagai hamba Allah dimulai dari pagi hari. Seiiring, sejalan terbitnya matahari. Begitu matahari terbenam, maka berakhirlah riwayat kehidupan manusia hari itu. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar