RASA MALAS,
dampak manjakan diri vs memposisikan diri
Rasa malas menjadi ciri dan hakikat manusia yang masih ingin hidup seribu
tahun lagi. Pas mau memulai tulisan ini, iseng keluar rumah mencari wangsit di
jalanan, siapa tahu tercecer ide, inspirasi dan pemacu inisaitif untuk olah
kata. Bukan kebetulan, dari arah kiri atau barat rumah, liwat abang tukang beli
barang bekas. Saya tengok, gerobag tariknya isi buka mata pelajaran sekolah
apa, tidak tahu. Mungkin, saking banyaknya buku ajar, sehingga ganti tahun ajaran,
langsung kadaluwarsa, siap buku ajar baru. Siap seragam baru untuk anak didik
baru.
Si abang, bapak-bapak berpostur tingggi besar, masih gagah, muda, ramah dan
tak tahu malu. Mungkin, dengan postur tubuh seukurannya, bisa jadi centeng,
tukang pukul, tukang tagih utang. Karena wajahnya yang bersahaja, nyaris lugu,
menjadikan si abang tahu diri. Kita tidak tahu, sudah berapa rit dia jalani. Sudah
berapa route dia tapaki. Melawan terik matahari, dilawan dengan topi. Beda dengan
abang PSK (pedagang sayur keliling), gerobak dorongnya dilengkapi payung, kaca
spion, ember berisi air, dsb. Langganan abang PSK didominasi ibu rumah tangga,
pramuwisma, atau bapak-bapak yang gemar kuliner.
Jangan terjebak dengan orang yang berpenampilan malas, ogah-ogahan. Jalan kaki
saja tak semangat, langkah diseret.macam sedang menarik dan atau membawa beban
berat. Sudah menjadi berita umum, penampilan lusuh namun idenya necis, rapih
dan enak dipandang. Mengacu cerita di atas, juragan barang bekas bukannya
rakyat msikin, masyarakat berpenghasilan serba pas dan cukup. Rumah tinggalnya
tak kalah keren dengan yang tinggal di kompleks perumahan KPR-BTN.
Lain cerita, seorang bapak pensiunan PNS, mantan pejabat, merasa cukup
dengan pensiun sekecil 4 juta Rp
sebulan. Berkali-kali membanggakan diri, jika ada yang mengajaknya sibuk, aktif
uber rezeki. Jawabannya klasik, yaitu “ingin duduk manis”. Sudah puluhan tahun mengabdi kepada negara. Di rumah, MC (momong cucu)
sambil menikmati perjalanan jarum panjang. Diselingi jalan kaki menapak jalan
di lingkungan tempat tinggal.
Malas memang tidak monopoli dengan kegiatan, aktivitas, kerja atau
seluk-beluk daya juang lainnya. Ukuran malas bisa dilihat pada ikhwalnya untuk
bangun pagi. Karena ukuran malas anak bangsa, dilihat yang utama dan pertama
adalah bangun pagi. Kehidupan harian manusia sebagai hamba Allah dimulai dari
pagi hari. Seiiring, sejalan terbitnya matahari. Begitu matahari terbenam, maka
berakhirlah riwayat kehidupan manusia hari itu. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar