Halaman

Kamis, 28 Juli 2016

merdeka Bung! ora takon mbokdé



merdeka Bung! ora takon mbokdé

Terjadi di era Orde Baru, akhir tahun 80-an, tentunya pak Harto masih sugeng. Beliau masih gayeng-gayeng-nya nguras bondo tanpa ampas, tanpa tilas. Licin tandas. Bahkan tempatnya dijadikan rebutan relawan.penjilatnya, tempat harta karun dijilati bergotong royong.

Ternyata masih ada yang tersisa. Seorang pemuda, dengan wajah lugu, menghabiskan waktu duduk di pinggir jalan. Duduk manis seperti ada yang dinantikan kedatangannya. Tangannya tidak sibuk ngotak-atik HP, karena saat itu memang belum ada. Tidak merokok, karena gaya hidupnya masih normal, wajar dan tahu tata susila. Pagi hari saat orang berangkat kerja, sang pemuda tadi sudah menongkrong di pinggir jalan, berpakaian necis, rambut tersisir rapih belah kiri. Model anak gaul zaman itu adalah rambut belah kiri. Kalau potongan dan gaya rambut belah kanan, kuatir dikategorikan copet. Indikasi tukang copet, konon, kalau rambut belah kanan.

Sore orang berbondong pulang, sang pemuda masih setia nangkring dan nongkrong di tempatnya. Pelalu lalang tidak ambil pusing. Walau pemandangan saat itu dianggap anéh dan nganéh-nganéhi kata budaya Jawa. Beda dengan zaman sekarang, kalau disepanjang jalan tidak ada orang anéh yang mejeng, malah dianggap anéh. Jalanan jadi hambar, senyap dan tak sesuai ciri jalan kota.

Usut punya usut, konon ternyata sang pemuda tadi ada yang menjanjikan mau jadi wakil rakyat daerah tingkat II (sekarang tingkat kabupaten/kota). Tidak ada yang tahu, sang pemuda tadi orang partai atau bukan. Ada yang iseng bilang, mungkin dia punya tengjen (tetangga jenderal). Waktu berjalan sendiri, mungkin berakhir janji tinggal janji. Sang pemuda tetap teguh dengan harapannya dengan menunggu, menanti.  

Akhirnya, memori daya ingatnya menjadi over dosis. Kalau yang liwat teriak menyapa : “Ayo Bung!”. Sang pemuda tampak tersadar nyaris histeris. Jangan coba-coba atau iseng teriak : “Merdeka Bung!” Serta merta, dalam posisi apa  pun sang pemuda menjawab tak kalah sewot : “ora takon mbokdé”,

Konon . . . .[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar